Di tengah diskursus bahasa Indonesia yang saban hari berseliweran di media sosial antara Ivan Lanin dengan Ariel Heryanto, ada sebuah oase yang berusaha dihadirkan oleh kawan-kawan literasi di Kota Surabaya dengan berusaha menarik kembali diskursus bahasa tersebut menjadi milik kita bersama (baca: rakyat) yang terlepas dari determinasi ahli bahasa dan akademisi perguruan tinggi.

Melalui momen Bulan Bahasa tahun ini, Aiola Eatery yang berlokasi di Jl. Slamet No. 16, Kota Surabaya berniat baik untuk menyediakan wadah dalam mendiskusikan diskursus bahasa tersebut dengan membawa tema Basantara.

Aiola sendiri merupakan sebuah tempat yang memiliki konsep utama berbentuk pujasera (pusat jajanan serba ada) yang diisi banyak tenant-tenant yang berasal dari PKL, di samping itu Aiola juga berusaha memberikan ruang alternatif seperti creative space yang mewadahi komunitas-komunitas atau kawula muda kreatif di Kota Surabaya.

—

jurnalapi.wordpress.com

Fanatisme secara sederhana bisa dimaknai sebagai bentuk rasa cinta tentang keyakinan atau kepercayaan yang begitu kuat terhadap suatu entitas politik, agama, hingga sepak bola. Fanatisme sendiri kemudian mempunyai wajahnya uniknya masing-masing tergantung konteks di mana dia tumbuh dan berkembang.

Fanatisme juga menampakkan wajah yang berbeda di Indonesia, rasa cinta tersebut tumbuh dan berkembang di Kabupaten Sidoarjo. Cinta itu melekat pada sebuah klub bernama Deltras FC, sebuah klub kebanggaan masyarakat Sidoarjo.

Salah satu aliansi kelompok suporter yang masih merawat rasa cinta dan ingatan mereka terhadap Deltras adalah Sector 7. Sebuah aliansi kelompok suporter yang mendiami tribun Sector 7 sejak Deltras memainkan laga pertamanya di hadapan masyarakat Sidoarjo di Stadion Gelora Delta. Dari beragamnya kelompok atau individu yang bernaung di Sector 7 membuat setiap pengalaman mereka saat pertama kali jatuh cinta kepada Deltras menarik untuk didengarkan secara saksama.

—

Beberapa tahun ke belakang tren barbershop kembali bergeliat menjadi sebuah bagian dari kultur anak muda urban dan sub-urban. Pola potongan yang beredar di masyarakat kemudian seakan menjadi mirip—jika tidak bisa disebut seragam—karena terinfluence demam berbershop ini.

Barbershop dengan tampilan yang eksentrtik—karena berbeda jauh dengan tampilan pangkas rambut konvensional—menjamur di seluruh Indonesia. Para barbernya memiliki gaya yang menarik dan necis menunjukkan sebuah keseriusan dari barbershop tersebut.

Di kawasan sub-urban seperti Kabupaten Sidoarjo, barbershop bukanlah hal asing bagi masyarakatnya. Laju aglomerasi Sidoarjo-Surabaya membuat tren barbershop ini cepat tersebar dan digemari oleh beberapa kalangan terutama anak-anak muda. Tapi ada salah satu barbershop yang cukup menarik karena terletak di tengah perkampungan, tepatnya di Jl. RA Mustika Tebel Timur, Desa Tebel, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Sidoarjo. Lampu merah putih biru ciri khas dari barbershop menempel di tembok di bawah guyuran sinar neon box yang bertuliskan Shelter Cukur.

—

Jauh dari hiruk-pikuk ekonomi di pusat Kota Surabaya, di tengah perebutan ruang publik yang berlangsung saban hari antara yang hidup dan yang mati, terdapat ruang publik yang berusaha diaktivasi oleh masyarakat lokal.

Ruang publik tersebut berupa tambak dengan luas lebih kurang setengah hektar di pinggiran Surabaya Barat yang sedang berusaha dikelola dengan konsep swakelola—sebuah konsep pengelolaan yang berbasis pada sukarela (tanpa ada paksaan) tanpa adanya dominasi dan hierarki.

Lokasi tambak tersebut terletak di depan Masjid Baitussholah yang beralamat di Jl. Tengger Raya 1, Kelurahan Kandangan, Kecamatan Benowo, Kota Surabaya. Secara lanskap wilayah, tambak tersebut dikelilingi oleh bangunan-bangunan semi permanen yang biasa digunakan masyarakat sebagai tempat usaha.

—

Kepulan cerobong asap pabrik di Kabupaten Sidoarjo seakan menjadi sebuah fenomena biasa yang melekat ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat sub-urban.

Gedung-gedung pabrik berceceran memenuhi ruang-ruang publik yang telah beralih fungsi, gedung-gedung pabrik tersebut tercecer mulai dari ujung selatan sampai ujung utara. Fenomena tersebut diperparah dengan industri properti yang tengah melangsungkan penetrasi kapital besaran-besaran di sisi timur dan barat Kabupaten Sidoarjo.

Di tengah kepulan cerobong asap pabrik dan semakin menyempitnya ruang-ruang publik tersebut berdiri sebuah peternakan sapi milik masyarakat lokal. Peternakan tersebut sudah berdiri sejak 1993 di halaman belakang sebuah rumah dengan arsitektur kuno di Jl. Citra Kracil RT 05 RW 01, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo.

—

Di tengah hingar bingar Kota Surabaya dengan menjamurnya ruang-ruang publik konvensional seperti warung kopi ada salah satu ruang publik yang menawarkan ruang kreatif bagi mereka pelaku kreatif di Kota Surabaya untuk berkembang dan berkolaborasi bersama.

Ruang kreatif tersebut terletak di tengah pemukiman padat penduduk dengan memanfaatkan gedung atau rumah dinas milik BUMN yang terbengkalai. Ruang kreatif yang bernama TMPT.ID atau Tempat ini berlokasi di Jl. Cipunegara No. 48 Surabaya.

—