
Sign up to save your podcasts
Or


(Taiwan, ROC) --- Donald Trump telah menjabat posisi sebagai Presiden Amerika Serikat selama 100 hari. Pusat Hubungan Internasional Universitas Nasional Chengchi mengundang para akademisi untuk menganalisis dampak kebijakan baru Donald Trump.
Ahli militer Ma Cheng-kun (馬振坤) menunjukkan bahwa keberadaan Republik Tiongkok di Taiwan sejak 1949 telah membantu AS memastikan bahwa Republik Rakyat Tiongkok tidak dapat benar-benar menjadi negara Pasifik yang penting.
Dia menyebutkan bahwa baru-baru ini Presiden Lai Ching-te (賴清德) telah meningkatkan nilai strategis Taiwan bagi AS melalui peningkatan investasi TSMC di AS.
Oleh karena itu, Donald Trump tidak akan menyerahkan Taiwan kepada Tiongkok begitu saja, mengingat peran penting Taiwan bagi pengembangan keamanan nasional AS.
Pusat Penelitian Hubungan Internasional Universitas Nasional Chengchi mengadakan seminar Dampak dan Prospek 100 Hari Kebijakan Baru Presiden Donald Trump AS pada tanggal 30 April 2025.
Profesor Ma Cheng-kun dari Institut Penelitian Urusan Militer Tiongkok di Universitas Pertahanan Nasional menganalisis bahwa Taiwan berada di pusat First Island Chain, yang mempengaruhi pola kompetisi strategis antara AS dengan Tiongkok.
Ma Cheng-kun mengatakan, "Berbicara dari sudut pandang militer, keberadaan Republik Tiongkok di Taiwan sejak 1949 adalah kondisi penting yang membantu AS memastikan bahwa Republik Rakyat Tiongkok tidak dapat benar-benar menjadi penguasa negara Pasifik. Jika Republik Rakyat Tiongkok mendapatkan Taiwan, maka mereka akan benar-benar menjadi negara dominan di pesisir Pasifik, dan pola kompetisi strategis AS-Tiongkok akan benar-benar berubah. Pengembangan proyeksi jarak jauh Tentara Pembebasan Rakyat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara setidaknya bisa maju satu generasi."
Dia menekankan, jika melihat peta, hanya posisi Taiwan yang dapat mengontrol Selat Miyako di utara dan Selat Bashi di selatan. Selain itu, kedalaman air First Island Chain cukup dalam, dan selat yang dapat dilalui kapal selam nuklir dan aspek lainnya adalah Selat Miyako dan Selat Bashi. Oleh karena itu, keberadaan Republik Tiongkok di Taiwan memiliki nilai strategis yang tak tergantikan bagi AS.
Donald Trump Lebih Mementingkan Nilai Ekonomi daripada Politik: Langkah Cerdas Presiden Lai
Selanjutnya, rantai pasokan semikonduktor canggih Taiwan akan sangat penting bagi perkembangan ekonomi AS. Ma Cheng-kun menyatakan bahwa pengumuman perusahaan seperti TSMC untuk meningkatkan investasi di AS memang akan menyebabkan sebagian kapasitas produksi berpindah ke AS.
Namun, Presiden Lai Ching-te baru-baru ini menyebutkan tentang pembentukan rantai pasokan non-merah, yang dengan cerdik menggabungkan nilai politik aliansi demokratis dan semakin memperkuat nilai strategis Taiwan.
Mengapa Tiongkok Sangat Percaya Diri Dalam Menghadapi AS?
Meskipun ada risiko eksternal tinggi dan gejolak ekonomi internal, karena kontrol internal yang sangat ketat, masalah-masalah ini tidak mudah menyebar ke seluruh masyarakat dan menekan rezim.
Di sisi lain, dia menyebutkan bahwa sistem ekonomi dan keuangan Tiongkok sangat unik, dengan tingkat tabungan domestik yang sangat tinggi, sehingga pemerintah merasa masih memiliki ruang untuk menggerakkan konsumsi domestik dan menstimulasi sirkulasi internal.
Selain itu, Donald Trump sudah menjabat dua kali sebagai presiden, dan meskipun dia ingin melanjutkan masa jabatannya pada 2028 melalui amandemen konstitusi, tetapi hal ini mungkin tidak mudah.
Terlebih lagi, jika Partai Demokrat menjadi mayoritas di Kongres dalam pemilihan paruh waktu tahun depan, maka mereka akan membatasi Donald Trump. Kondisi-kondisi ini memberi Tiongkok kepercayaan diri untuk bertahan, bahkan berpeluang mendapatkan citra internasional sebagai negara yang bertanggung jawab.
Direktur Pusat Hubungan Internasional Universitas Nasional Chengchi, Wang Hsin-hsien (王信賢), menganalisis bahwa perang tarif ini sebenarnya berdampak besar pada Tiongkok.
Namun, sejak Donald Trump memulai perang dagang pada Maret 2018 selama masa jabatan pertamanya, Tiongkok telah memposisikannya sebagai perang jangka panjang. Mereka telah mempersiapkan diri selama 7 tahun dan membuat rencana untuk skenario terburuk, dari pemikiran dasar hingga pemikiran ekstrem, serta menginventarisasi berbagai instrumen yang mereka miliki.
Dia juga menekankan bahwa sebagai Presiden AS maka Donald Trump harus menghadapi jajak pendapat, kapitalis, partai oposisi, dan media, sedangkan Presiden Tiongkok Xi Jin-ping (習近平) tidak perlu menghadapi semua ini, sehingga dia bebas melakukan berbagai propaganda internal dan eksternal.
Wang Hsin-hsien mengatakan, "Di masa lalu, kita melihat banyak komentar di internet Daratan Tiongkok yang mengkritik berbagai isu ekonomi dan sosial, tetapi sejak 2 April, lihatlah, semuanya mendukung pemerintah. Ini berarti sistem propaganda secara strategis mengalihkan tekanan internal, mengubah kritik terhadap ekonomi dan sosial menjadi nasionalisme atau dukungan terhadap Xi Jin-ping, dengan pesan bahwa hanya Partai Komunis Tiongkok di bawah kepemimpinan Xi Jin-ping yang mampu menahan gelombang ini."
Dalam konfrontasi ini, siapa yang bisa menang? Wang Hsin-hsien berpendapat bahwa Tiongkok masih bisa bertahan dalam jangka pendek, tetapi akan mengalami kerugian besar dalam jangka panjang, dan AS mungkin bisa mendapatkan hasil dari situasi ini.
By Yunus Hendry, Rti(Taiwan, ROC) --- Donald Trump telah menjabat posisi sebagai Presiden Amerika Serikat selama 100 hari. Pusat Hubungan Internasional Universitas Nasional Chengchi mengundang para akademisi untuk menganalisis dampak kebijakan baru Donald Trump.
Ahli militer Ma Cheng-kun (馬振坤) menunjukkan bahwa keberadaan Republik Tiongkok di Taiwan sejak 1949 telah membantu AS memastikan bahwa Republik Rakyat Tiongkok tidak dapat benar-benar menjadi negara Pasifik yang penting.
Dia menyebutkan bahwa baru-baru ini Presiden Lai Ching-te (賴清德) telah meningkatkan nilai strategis Taiwan bagi AS melalui peningkatan investasi TSMC di AS.
Oleh karena itu, Donald Trump tidak akan menyerahkan Taiwan kepada Tiongkok begitu saja, mengingat peran penting Taiwan bagi pengembangan keamanan nasional AS.
Pusat Penelitian Hubungan Internasional Universitas Nasional Chengchi mengadakan seminar Dampak dan Prospek 100 Hari Kebijakan Baru Presiden Donald Trump AS pada tanggal 30 April 2025.
Profesor Ma Cheng-kun dari Institut Penelitian Urusan Militer Tiongkok di Universitas Pertahanan Nasional menganalisis bahwa Taiwan berada di pusat First Island Chain, yang mempengaruhi pola kompetisi strategis antara AS dengan Tiongkok.
Ma Cheng-kun mengatakan, "Berbicara dari sudut pandang militer, keberadaan Republik Tiongkok di Taiwan sejak 1949 adalah kondisi penting yang membantu AS memastikan bahwa Republik Rakyat Tiongkok tidak dapat benar-benar menjadi penguasa negara Pasifik. Jika Republik Rakyat Tiongkok mendapatkan Taiwan, maka mereka akan benar-benar menjadi negara dominan di pesisir Pasifik, dan pola kompetisi strategis AS-Tiongkok akan benar-benar berubah. Pengembangan proyeksi jarak jauh Tentara Pembebasan Rakyat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara setidaknya bisa maju satu generasi."
Dia menekankan, jika melihat peta, hanya posisi Taiwan yang dapat mengontrol Selat Miyako di utara dan Selat Bashi di selatan. Selain itu, kedalaman air First Island Chain cukup dalam, dan selat yang dapat dilalui kapal selam nuklir dan aspek lainnya adalah Selat Miyako dan Selat Bashi. Oleh karena itu, keberadaan Republik Tiongkok di Taiwan memiliki nilai strategis yang tak tergantikan bagi AS.
Donald Trump Lebih Mementingkan Nilai Ekonomi daripada Politik: Langkah Cerdas Presiden Lai
Selanjutnya, rantai pasokan semikonduktor canggih Taiwan akan sangat penting bagi perkembangan ekonomi AS. Ma Cheng-kun menyatakan bahwa pengumuman perusahaan seperti TSMC untuk meningkatkan investasi di AS memang akan menyebabkan sebagian kapasitas produksi berpindah ke AS.
Namun, Presiden Lai Ching-te baru-baru ini menyebutkan tentang pembentukan rantai pasokan non-merah, yang dengan cerdik menggabungkan nilai politik aliansi demokratis dan semakin memperkuat nilai strategis Taiwan.
Mengapa Tiongkok Sangat Percaya Diri Dalam Menghadapi AS?
Meskipun ada risiko eksternal tinggi dan gejolak ekonomi internal, karena kontrol internal yang sangat ketat, masalah-masalah ini tidak mudah menyebar ke seluruh masyarakat dan menekan rezim.
Di sisi lain, dia menyebutkan bahwa sistem ekonomi dan keuangan Tiongkok sangat unik, dengan tingkat tabungan domestik yang sangat tinggi, sehingga pemerintah merasa masih memiliki ruang untuk menggerakkan konsumsi domestik dan menstimulasi sirkulasi internal.
Selain itu, Donald Trump sudah menjabat dua kali sebagai presiden, dan meskipun dia ingin melanjutkan masa jabatannya pada 2028 melalui amandemen konstitusi, tetapi hal ini mungkin tidak mudah.
Terlebih lagi, jika Partai Demokrat menjadi mayoritas di Kongres dalam pemilihan paruh waktu tahun depan, maka mereka akan membatasi Donald Trump. Kondisi-kondisi ini memberi Tiongkok kepercayaan diri untuk bertahan, bahkan berpeluang mendapatkan citra internasional sebagai negara yang bertanggung jawab.
Direktur Pusat Hubungan Internasional Universitas Nasional Chengchi, Wang Hsin-hsien (王信賢), menganalisis bahwa perang tarif ini sebenarnya berdampak besar pada Tiongkok.
Namun, sejak Donald Trump memulai perang dagang pada Maret 2018 selama masa jabatan pertamanya, Tiongkok telah memposisikannya sebagai perang jangka panjang. Mereka telah mempersiapkan diri selama 7 tahun dan membuat rencana untuk skenario terburuk, dari pemikiran dasar hingga pemikiran ekstrem, serta menginventarisasi berbagai instrumen yang mereka miliki.
Dia juga menekankan bahwa sebagai Presiden AS maka Donald Trump harus menghadapi jajak pendapat, kapitalis, partai oposisi, dan media, sedangkan Presiden Tiongkok Xi Jin-ping (習近平) tidak perlu menghadapi semua ini, sehingga dia bebas melakukan berbagai propaganda internal dan eksternal.
Wang Hsin-hsien mengatakan, "Di masa lalu, kita melihat banyak komentar di internet Daratan Tiongkok yang mengkritik berbagai isu ekonomi dan sosial, tetapi sejak 2 April, lihatlah, semuanya mendukung pemerintah. Ini berarti sistem propaganda secara strategis mengalihkan tekanan internal, mengubah kritik terhadap ekonomi dan sosial menjadi nasionalisme atau dukungan terhadap Xi Jin-ping, dengan pesan bahwa hanya Partai Komunis Tiongkok di bawah kepemimpinan Xi Jin-ping yang mampu menahan gelombang ini."
Dalam konfrontasi ini, siapa yang bisa menang? Wang Hsin-hsien berpendapat bahwa Tiongkok masih bisa bertahan dalam jangka pendek, tetapi akan mengalami kerugian besar dalam jangka panjang, dan AS mungkin bisa mendapatkan hasil dari situasi ini.