Menjadi masalah besar bagi kita semua kalau kita meninggal dunia nanti, ternyata kita belum memiliki Tuhan. Jadi, jangan merasa sudah menjadi Kristen berarti sudah memiliki Tuhan; sudah ke gereja berarti sudah memiliki Tuhan. Belum tentu. Orang yang memiliki Tuhan pasti memiliki sifat-sifat-Nya. Jadi kalau kita belum memiliki sifat-sifat Tuhan—yang penuh belas kasihan terhadap sesama, yang menjauhi segala bentuk perbuatan yang melanggar kekudusan Allah—berarti kita belum memiliki Tuhan. Maka seharusnya ini yang menjadi target, proyeksi, tujuan hidup kita; dan kita harus serius memperjuangkannya. Sebab kalau kita tidak memiliki perjumpaan dengan Tuhan, tidak mungkin kita memiliki hati yang takut akan Allah. Dengan demikian, kita pun tidak benar-benar bisa hidup benar.
Kita harus menyadari bahwa memiliki Tuhan itu menuntut kesungguhan kita. Dari pihak Tuhan, Tuhan menyediakan Firman, memberikan Roh Kudus yang menuntun kita kepada seluruh kebenaran dan segala kejadian yang membentuk kita. Tetapi dari pihak kita, dibutuhkan respons. Kalau kita tidak mengalami sebuah kontak dengan Tuhan, maka kita pasti tidak punya frekuensi yang nyambung dengan Tuhan. Di sini letak masalahnya, banyak orang percaya yang kurang serius atau tidak serius dengan Tuhan. 24 jam setiap hari 7 hari dalam seminggu kita seharusnya menyediakan waktu dengan sungguh-sungguh, sehingga kita dapat menghayati Allah yang hidup.
Kita bisa melihat, orang-orang yang menghayati Allahnya. Jangan coba-coba menyinggung, mencederai nama Allah atau kitabnya. Nyawa mereka pertaruhkan. Begitu hormatnya mereka akan allahnya, begitu menjunjung tinggi. Tentu bukan berarti kalau nama Yesus dicela lalu kita marah; tidak perlu begitu. Tuhan kita bisa dan sanggup membela diri-Nya sendiri. Sebaiknya kita diam saja, tidak perlu marah, karena kita mau menjadi orang-orang yang beradab di tengah-tengah polarisasi kemajemukan manusia.
Maka jangan sampai kita meninggal dunia, kita tidak diperkenan masuk ke dalam Kerajaan Surga. Jangan anggap ringan atau sepele, jangan main-main. Kita pasti suatu hari akan menghadap takhta pengadilan Tuhan di mana keadaan kita akan dibuka; tidak ada yang dapat kita tutup-tutupi. Karenanya kita mutlak setiap hari menghadap Tuhan. Bayangkan kita sudah ada di hadapan Tuhan, kira-kita bagaimana perasaan kita? Kalau kita belum sungguh-sungguh memiliki Tuhan, pasti kita akan gemetar, tidak tahan berdiri di hadapan Allah. Memiliki Tuhan membutuhkan kesungguhan kita, tidak bisa singkat. Jadi mestinya dalam hidup ini, kita hanya memiliki satu ruangan; ruangan Tuhan.
Pada umumnya orang mempunyai banyak ruangan. Ruangan bisnis, keluarga, hobi, karier, studi dan lain sebagainya. Sementara ruangan Tuhan ada di pojok, yang hanya dimasuki ketika kita ke gereja. Padahal firman Tuhan mengatakan, “Baik kamu makan atau minum, atau melakukan segala sesuatu, lakukan semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1Kor. 10:31). Jadi ruangan itu hanya ruangan Tuhan. Tidak ada yang kita kerjakan tanpa ada kaitan dengan Allah. Kalau kita studi dan berprestasi, hal itu supaya kita memiliki keahlian sehingga mendapat pekerjaan. Dengan bekerja, kita punya uang untuk membalas kebaikan orangtua, menolong sesama dan mendukung pekerjaan Tuhan. Kalau ruangan kita hanya untuk Tuhan, kita akan jauh dari perbuatan salah dan perbuatan yang melanggar kesucian Tuhan. Jadi, kita harus sungguh-sungguh berurusan dengan Tuhan sebagai sesuatu yang kita pandang segalanya. Sejatinya, hidup ini memang hanya untuk berurusan dengan Tuhan.
Waktu hidup kita yang hanya 70-80 tahun ini hanyalah persiapan untuk kekekalan. Sedangkan hidup yang sesungguhnya yaitu nanti di belakang langit biru; dan inilah yang harus kita usahakan. Seperti yang dikatakan dalam 2 Korintus 11, bahwa setiap individu harus menjadi perawan suci bagi Tuhan Yesus. Sehingga Paulus juga mengatakan, “… aku cemburu kepada kamu dengan cemburu ilahi.” Bukan cemburu dalam arti atau pengertian umum.