Ketika saudara kita di Palestina menangis,
terluka, kehilangan keluarga, bahkan nyawa—
lalu kita diam dan tak peduli,
itu bukan lagi tentang berita,
tapi tentang hati yang mulai membeku.

Dalam episode ini, kita diajak merenung:
Apakah nurani kita masih hidup?
Apakah iman kita masih peka terhadap penderitaan umat?
Atau justru sibuk dengan dunia sendiri dan merasa itu bukan urusan kita?

"Perumpamaan kaum mukminin dalam saling mencintai dan menyayangi seperti satu tubuh..."
(HR. Muslim)

Diam saat Palestina terluka adalah tanda lemahnya iman.
Mari hidupkan hati, kuatkan doa, luaskan empati.
Karena peduli adalah tanda bahwa hati kita masih berpihak pada kebenaran.

Orang munafik bukan hanya yang terlihat buruk di luar, tapi yang hatinya berbeda dari lisannya.
Ia bisa terlihat shalih, tapi menyimpan niat yang menipu.

Dalam episode ini, kita membahas tanda-tanda orang munafik yang dijelaskan dalam hadits:

"Apabila berkata, ia berdusta. Apabila diberi amanah, ia khianat. Dan apabila berjanji, ia ingkar."
(HR. Bukhari & Muslim)

Tiga ciri ini bukan hanya peringatan, tapi juga bahan muhasabah.
Apakah kita masih mudah berbohong?
Apakah kita menunda-nunda janji?
Apakah amanah sering kita abaikan?

Nifak itu penyakit hati yang halus,
dan bisa menyusup tanpa disadari.

Semoga dengan mengenal tandanya,
kita bisa menjaga diri dari kemunafikan yang menghancurkan amal.

Sering kali kita merasa mampu menghadapi semuanya sendiri.
Merasa kuat, merasa bisa bertahan, merasa sanggup melewati ujian.

Namun hakikatnya, bukan kita yang kuat,
tapi Allah yang terus menguatkan kita tanpa kita sadari.

Dalam episode ini, kita diajak menyadari:

Kekuatan sejati bukan dari fisik atau mental,
tapi dari tawakal dan pertolongan Allah yang tak pernah putus.

Saat kita jatuh lalu bangkit lagi,
saat kita lelah tapi tetap berjalan,
semua itu karena Allah yang menopang hati kita.

"Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan pertolongan Allah."
(QS. Hud: 88)

Maka jangan andalkan diri sendiri.
Andalkan Allah—karena hanya Dia sumber segala kekuatan.

Sering kali kita merasa jauh dari Allah.
Doa terasa hampa, ibadah terasa kering, hati sulit tenang.

Tapi benarkah Allah yang menjauh?
Atau justru kita yang tak sungguh-sungguh mendekat?

Dalam episode ini, kita diajak merenung:

• Apakah niat kita benar-benar tulus saat beribadah?

• Apakah hati kita hadir saat memohon?

• Apakah kita benar-benar ingin dekat, atau sekadar menjalani rutinitas?

"Jika kamu mendekat kepada Allah sejengkal, Allah akan mendekat kepadamu sehasta..."
(HR. Bukhari & Muslim)

Allah tidak pernah menjauh.
Yang perlu kita tanyakan:
Sudah sejauh mana kita serius ingin mendekat?

Kecewa itu manusiawi.
Saat harapan tak sesuai kenyataan,
saat yang kita bantu justru meninggalkan,
atau saat doa belum juga terwujud.

Tapi di balik semua rasa itu, jangan biarkan hati menjauh dari Allah.

Dalam episode ini, kita diajak untuk:

• Memahami bahwa kekecewaan adalah bagian dari ujian iman,

• Belajar menyikapi rasa sakit tanpa kehilangan arah,

• Menemukan ketenangan bukan dengan mengeluh, tapi dengan kembali kepada Allah.

Karena seberat apa pun kecewa,
Allah tetap tempat kembali yang paling lembut dan memahami.

Media sosial adalah ladang amal,
tapi bisa juga jadi ladang dosa — tergantung bagaimana kita menggunakannya.

Di balik layar, kita tetap akan dimintai pertanggungjawaban:
apa yang kita tulis, apa yang kita bagikan, apa yang kita komentari.

Dalam episode ini, kita diajak untuk:

• Beretika dalam bersuara,

• Menahan jari dari menyebarkan keburukan,

• Menguatkan niat untuk menjadikan media sosial sebagai sarana kebaikan, bukan pelampiasan emosi.

"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam."
(HR. Bukhari & Muslim)

Bijaklah sebelum membagikan.
Karena jejak digital tak pernah benar-benar hilang, dan catatan amal tak pernah salah mencatat.

Rasulullah ﷺ bukan hanya teladan dalam ibadah, tapi juga dalam cara berbicara dan menyampaikan sesuatu.
Beliau tak pernah menyakiti dengan kata-kata, meski sedang menasihati.
Lisannya lembut, tapi menyentuh.
Tegas, tapi tak pernah kasar.

Dalam episode ini, kita belajar bagaimana berkomunikasi dengan hati, seperti Nabi:

• Menyampaikan tanpa merendahkan,

• Menasihati tanpa menyudutkan,

• Membuat orang merasa dipahami, bukan dihakimi.

Karena sejatinya, dakwah yang tulus berasal dari hati yang bersih.
Dan hati yang bersih, akan melahirkan kata-kata yang menenangkan.

Semua orang ingin membawa kebaikan.
Tapi bagaimana mungkin rahmat bisa tersebar,
kalau hati masih penuh prasangka, dendam, dan iri?

Rahmat tak lahir dari hati yang kotor.
Maka bersihkan dulu hatimu,
sebelum berharap menjadi rahmat bagi orang lain.

"Tidaklah Kami mengutusmu (wahai Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam."
(QS. Al-Anbiya: 107)

Dalam episode ini, kita diajak merenung:
Bahwa menjadi rahmatan lil ‘alamin dimulai dari dalam diri,
dari hati yang bersih, niat yang tulus, dan sikap yang lapang.

Bersihkan hati, agar setiap langkah kita jadi manfaat.
Tebarkan rahmat, agar hidup kita bernilai di sisi-Nya.

Berbaik sangka itu mudah…
sampai ada yang menyakiti kita.
Sampai hati mulai kesal, pikiran mulai negatif, dan prasangka buruk datang bertubi-tubi.

Padahal, husnuzan (berbaik sangka) bukan hanya saat semua terasa baik,
tapi justru diuji saat hati mulai kecewa.

“Barang siapa yang berbaik sangka kepada Allah, maka Allah akan memperlakukannya sesuai sangkaannya.”
(HR. Ahmad)

Dalam episode ini, kita diajak merenung:
Bagaimana menjaga prasangka baik — kepada sesama, dan terutama kepada Allah —
meski keadaan tidak sesuai harapan.
Karena hati yang bersih, selalu memilih husnuzan meski dalam tekanan.

Banyak yang belajar agama hanya untuk tahu,
tapi lupa bahwa tujuan utamanya adalah untuk melembutkan hati dan mendekatkan diri kepada Allah.

Hati yang keras tak lahir dalam semalam.
Ia terbentuk saat ilmu dijauhkan dari keikhlasan,
saat agama dipelajari tapi tidak diamalkan.

"Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras..."
(QS. Al-Baqarah: 74)

Dalam episode ini, kita akan bahas:
Kenapa belajar agama penting untuk membersihkan hati,
bukan sekadar memperbanyak wawasan,
tapi agar hati kembali tunduk, lembut, dan dekat dengan Allah.