Kalau kita melihat barang atau benda dari seseorang yang sudah meninggal dunia—apakah mereka adalah kakek, nenek, orangtua atau saudara atau siapapun—maka kita bisa menghayati betapa singkatnya hidup ini. Terlebih kalau kita ada di kuburan, lalu kita melihat nisan yang tertulis nama orang yang kita pernah kenal; khususnya orang yang pernah hidup bersama dengan kita. Kita perlu merenungkan dan menghayati hal ini. Manusia itu datang dan pergi. Namun kenyataannya, hampir semua orang lupa. Jangankan orang di luar gereja, aktivis bahkan pendeta pun bisa melupakan hal ini.
Jadi, hari ini kita merenungkan dan menggoreskan sedalam-dalamnya di hati kita, sehingga kita tidak melupakannya. Firman Tuhan mengatakan di dalam Yakobus 4:13, “Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: “Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung, sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.” Ini yang harus kita ingat. Kalau orang melupakan hal ini, maka ia jadi sombong, tidak menjaga perasaan Tuhan; apalagi kalau dia kuat, punya jabatan, kedudukan, kekuasaan, uang atau relasi pejabat.
Dan sudah bisa dipastikan, ia tidak peduli perasaan orang lain, apalagi perasaan Tuhan. Ini celaka, laknat, sebab ada perhitungannya. Memang orang-orang seperti ini kelihatannya agung karena mereka kaya, kuat, punya relasi pejabat. Namun sejatinya mereka membangun laknat. Orang-orang seperti ini berbau busuk di hadapan Tuhan. Jangan jadi manusia yang bau, jadilah manusia yang harum. Jadi biarpun kita miskin, di pandangan mata kita manusia bau, tetapi dalam pemandangan Tuhan kita harum. Ayo, kita berubah. Jangan tidak berubah. Sebab:
Pertama, orang sombong sering kali tidak menyadari bahwa ia memiliki waktu hidup yang singkat atau terbatas. Jadi, jangan kita berpikir seakan-akan kita itu tidak pernah mati, seakan-akan jalan ini tidak ada ujungnya. Ada, ada ujungnya dan kita tidak tahu di mana ujungnya. Nah, kalau sudah bisa menghayati hal ini, kita tidak akan main-main lagi. Sambil membayangkan, kalau nanti kita bertemu Tuhan, bagaimana gentarnya kita. Tapi jangan tunggu nanti ketemu Tuhan baru gentar.
Sejak di dunia ini, dengan hati yang rendah dan hormat, kita datang kepada Tuhan lalu memeriksa diri; masih ada dosa atau tidak. Kita akan dibimbing Tuhan; pasti Tuhan pimpin. Karena setiap saat kita bisa mati, kita mesti benar-benar membawa diri kita benar di hadapan Tuhan. Kalau hanya ke gereja seminggu sekali atau seminggu 2 kali, pasti kita masih menjadi manusia asing di hadapan Tuhan. Setiap hari kita harus datang, dan setiap saat kita menghayati bahwa Allah hidup, hadir, menyertaiku. Mata Tuhan melihat. Jangan jadi manusia asing di hadapan Tuhan.
Mumpung masih ada kesempatan. Karena hidup kita seperti uap, dan kita tidak tahu kapan berakhir. Kalau kita tidak menemukan tempat di hadapan Tuhan, sejak di bumi ini, jangan harap punya tempat di hadapan Tuhan nanti. Hidup hari ini di bumi yang sudah terkutuk, sangat susah. Makanya kita harus arahkan fokus hidup kita ke Langit Baru Bumi Baru. Ini tidak membuat kita jadi “aneh.” Kita tetap memaksimalkan potensi, kerja keras, bertanggung jawab tapi fokus kita di Langit Baru Bumi Baru.
Kedua, orang sombong tidak mau mengerti kehendak Tuhan dalam hidupnya. Maka dikatakan dalam ayat berikutnya, “… kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. Seharusnya kamu berkata: “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.” Bukan tidak boleh ini dan itu atau pergi ke kota anu—sebab manusia harus punya aktivitas—melainkan jika Tuhan menghendakinya. Belajar dari pengalaman-pengalaman hidup, mari kita serius menjadi manusia yang berbau harum.
Walau pada umumnya manusia itu hidup mau-maunya sendiri—karena merek...