Kalau kita sungguh-sungguh mau menujukan cinta kita kepada Tuhan, maka secara bertahap kita akan makin menghayati kehadiran Tuhan dan dapat merasakan adanya kehausan dalam jiwa. Misalnya, seseorang yang tadinya kalau pagi tidak berdoa dan merasa biasa-biasa saja, tetapi sekarang dia mulai merasakan ada yang hilang. Yang tadinya tidak kebaktian satu bulan dan merasa tidak masalah, tetapi sekarang satu minggu lewat, dia merasa kehilangan. Kita harus belajar mengalami bahwa rasa membutuhkan Tuhan itu bukan hanya di mulut. Mari kita merenungkan kalimat pemazmur yang mengatakan, “seperti rusa merindukan sungai yang mengalir,” yaitu bagaimana seorang pemazmur yang hidup di zaman Perjanjian Lama, sudah bisa memiliki kehausan akan Allah. Dia juga berkata, “Tuhan, Rajaku, pada-Mu sangat haus jiwaku.”
Apa yang kita pelajari dari Alkitab dan proses kehidupan yang kita alami, inilah kebenaran yang menuntun kita sampai ke surga. Kalimat “seperti rusa merindukan sungai yang berair,” artinya sungai itu bukan sekadar pelengkap, suplemen, tambahan, atau kebutuhan sekunder, melainkan segalanya. Rusa tidak bisa hidup tanpa air. “Merindukan” di sini bukan sekadar mengingini, dan boleh dijawab atau boleh tidak dijawab. Pengertian “merindukan” di sini yaitu membutuhkan sebagai kebutuhan yang mutlak. Kita harus menyadari bahwa yang kita butuhkan di hidup ini hanyalah Tuhan, agar kita bisa mengasihi Dia secara natural. Tuhan menghendaki kita mencintai Dia dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi secara sukarela. Kalau manusia mencintai-Nya secara terpaksa, maka Allah tidak bisa menikmati cinta tersebut. Tidak mungkin Allah menerimanya.
Kita harus mencintai Tuhan secara natural, sebab hanya Dia yang kita butuhkan. Kita harus menghormati Dia secara patut, bukan karena terpaksa. Tentu Allah memiliki harga diri. Dia tidak memaksa makhluk ciptaan untuk menghormati-Nya. Kalau kita takut akan Dia, kita takut karena kita mengasihi dan menghormati-Nya. Seperti seorang anak yang takut kepada orangtuanya, dia merasa segan karena menghormati dan mengasihi, bukan takut karena ancaman tidak mendapat bagian warisan atau karena orangtua lebih kuat secara fisik atau kuat secara relasi dengan pejabat, sehingga anak itu menjadi takut. Sebenarnya, ini bisa menjadi gambaran tentang hubungan kita dengan Tuhan. Kalau seorang anak sejak kecil bisa menghayati hubungan orangtua dan anak secara proporsional, yaitu bagaimana anak bisa menghayati bahwa yang paling dibutuhkan olehnya adalah ibu dan bapaknya dan tidak bisa tergantikan dengan apa pun dan siapa pun, maka hubungan kita dengan Tuhan pun seharusnya demikian. Kita membutuhkan Tuhan karena Tuhan sendiri. Hanya Tuhan yang dapat mengisi kehausan jiwa kita, bukan karena berkat dan kuasa-Nya.
Oleh karena itu, jika seseorang benar-benar mengerti apa arti dari “Tuhan menjadi satu-satunya kebutuhan,” ia pasti tidak bisa memanipulasi Tuhan. Tuhan tidak perlu dimanipulasi, sebab Dia sendiri yang kita butuhkan, bukan “apa yang dapat Dia berikan kepada kita,” hanyalah Dia sendiri; Pribadi-Nya. Tetapi sebagian besar manusia memiliki jiwa yang sudah rusak, sehingga belum mengerti maksud dari “Tuhan satu-satunya kebutuhan.” Itu semua disebabkan karena kita memiliki konstruksi, sirkuit, cara berpikir yang sudah rusak. Kita telah kecanduan atau addict; kecanduan oleh perkara-perkara dunia. Kita melihat banyak orang Kristen yang memanfaatkan Tuhan, memanfaatkan kuasa-Nya, meminjam tangan-Nya yang perkasa untuk meraih apa yang dia pikir bisa melengkapi hidup, memuaskan, dan membahagiakan dirinya. Dengan sikap seperti itu, tanpa kita sadari, kita berkhianat kepada Tuhan, artinya kita menyakiti hati-Nya. Tetapi karena kita dianggap belum matang atau belum dewasa, Tuhan bisa mengerti dan Tuhan masih mau bertoleransi kepada kita. Namun demikian, kita tidak boleh terus-menerus dalam keadaan kekanak-kanakan yang naif, picik, dan bodoh ini. Kita harus bertumbuh terus dalam proses pendewasaan,