Ketika seseorang menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, maka ia harus memberi dirinya dimiliki oleh Tuhan. Dalam Galatia 2:20 dikatakan, “…namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” Tidak ada seorang pun yang dapat diselamatkan oleh perbuatan baiknya. Setiap orang diselamatkan melalui pengurbanan Anak Allah di atas kayu salib. Menyadari hal ini, Paulus menyatakan bahwa kehidupannya kini dihidupi di dalam iman dalam Yesus Kristus. Artinya, setiap orang yang menyadari bahwa dirinya menerima kasih Allah, ia harus menjalani hidup dalam penurutan akan kehendak Allah. Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa kepemilikan seseorang terhadap dirinya sendiri berakhir ketika ia menerima kasih karunia Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus.
Penghentian kepemilikan diri ini digambarkan Paulus lebih jelas dalam Galatia 5:24, yang berbunyi demikian: “Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya.” Setiap orang yang telah menerima Yesus Kristus dan menjadi milik-Nya, wajib meninggalkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya dengan cara menyalibkannya. Menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu menunjuk pada proses mematikan seluruh gairah yang bertentangan dengan kehendak Allah dalam diri kita. Satu-satunya cara menghentikan kepemilikan diri hanyalah dengan mematikan seluruh gairah yang bertentangan dengan kehendak Allah. Setiap orang yang masih mempertahankan gairah yang bertentangan dengan kehendak Allah tidak dapat memberi diri dimiliki oleh Allah. Mereka akan hidup untuk memenuhi gairah dalam dirinya. Orang yang memiliki dirinya dapat menjadi baik dan bermoral di mata masyarakat, tetapi tidak akan dapat mencapai maksud keselamatan di dalam Tuhan Yesus. Hanya orang yang melepaskan kepemilikan dirinya yang dapat dimiliki sepenuhnya oleh Tuhan.
Jika dikaitkan dengan pengampunan, seseorang yang tidak bersedia mengampuni orang lain berarti ia masih hidup dalam kepemilikan terhadap dirinya sendiri. Kebencian dan dendam yang disimpan berlarut-larut merupakan tanda bahwa ia tidak rela melepaskan gairah yang bertentangan dengan kehendak Allah. Allah menghendaki setiap orang percaya hidup dalam keharmonisan dengan sesamanya, baik mereka yang menjadi sekutu maupun seteru orang percaya. Ketika orang percaya menerima pengampunan dari Allah, itu berarti sebuah panggilan untuk memperbaiki diri. Salah satu komponen penting di dalam perbaikan diri tersebut adalah gairah permusuhan yang serin gkali sulit diredam oleh daging kita. Melepaskan kepemilikan terhadap diri sendiri juga berarti melepaskan gairah permusuhan yang ada di dalam diri kita. Kita harus berani untuk menyalibkan gairah tersebut, sehingga pengampunan Allah menjadi sempurna di dalam kita.
Proses penyaliban ini tentu memakan waktu, perhatian, dan tenaga setiap orang percaya. Setiap orang percaya bergumul secara unik dalam keadaannya untuk berjuang menyelesaikan pergumulan ini. Tantangan satu orang dengan orang lainnya tentu berbeda. Kepribadian orang yang terbentuk sejak kecil juga sangat menentukan dalam pergumulan untuk menghidupi gaya hidup mengampuni. Seseorang yang terbentuk dengan kepribadian yang keras mengalami tantangan yang lebih dahsyat ketimbang mereka yang sejak kecil sudah terdidik untuk lemah lembut. Namun, bagaimana pun tantangan yang dihadapi seseorang, Tuhan berjanji bahwa tidak ada satu pencobaan pun yang melebihi kekuatan kita (1Kor. 13:13). Setiap perkara yang hadir dalam hidup kita, termasuk permasalahan yang mengakibatkan pertengkaran, pasti mampu kita lewati. Tuhan tidak akan memberikan ujian melampaui kekuatan kita. Tuhan sudah menakar kekuatan masing-masing individu, sehingga ketika terjadi suatu hal dalam pengetahuan Tuhan,