
Sign up to save your podcasts
Or


Sebuah Puisi: Ekdisis (Mlungsungi)
Ditulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal Karima
Tulisan ini menggambarkan perjalanan batin yang penuh dengan luka, pertanyaan, dan pencarian makna. Kulit yang disebut sebagai "kota mati" melambangkan diri yang telah terkikis oleh pengalaman-pengalaman pahit, seolah-olah setiap selnya menjadi tembok rapuh yang menahan beban emosi dan keraguan. Penulis mempertanyakan apakah luka-luka yang dialami akan menjadi kekuatan ("sayap") atau hanya ilusi yang tak bermakna. Ritual "mlungsungi" (mungkin merujuk pada proses introspeksi atau pelepasan) dijelaskan sebagai kuburan tempat nama-nama masa lalu dikuburkan, seolah-olah identitas lama telah mati dan menjadi nisan yang bisu, tak lagi dikenang atau dihormati.
Tubuh digambarkan sebagai pantai yang tercabik badai, dengan sungai-sungai yang mengalir ke masa lalu, membawa kenangan yang menyakitkan. Penulis berusaha melepaskan diri dari "kulit yang membatu," tetapi yang tersisa hanyalah bayang-bayang yang bersembunyi di antara hujan, merangkak seperti ulat, mencoba bertahan di antara retakan langit dan dahan-dahan yang menua. Gambaran ini melambangkan perjuangan untuk melepaskan diri dari masa lalu yang membebani, namun tetap terjebak dalam bayang-bayang yang tak bisa sepenuhnya dihilangkan.
Di akhir tulisan, penulis merenungkan proses perubahan dan pelepasan diri, seperti ngengat yang memakan cahayanya sendiri atau ular yang mengganti kulitnya di laut beku. Laut itu diibaratkan ada di dalam dada, dengan gelombang suara yang akhirnya terdampar sebagai diam. Museum tubuh menjadi tempat bagi patung-patung yang belum selesai, simbol dari identitas yang terus berubah dan belum menemukan bentuk akhir. Tulisan ini diakhiri dengan gambaran tengkorak di tepi sungai, bukan sebagai kematian, melainkan sebagai "ekdisis terakhir" (proses pergantian kulit) dari perjuangan yang akhirnya menemukan henti. Penulis menyatakan bahwa semua ini dilakukan "demi puisi," seolah-olah puisi adalah cara untuk mengolah luka dan menemukan kedamaian dalam prosesnya.
#ardikamal #literasi #penulis #dialogue #dialog #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyairindonesia #syaircinta #cinta #patahhati #manusia
By Ardi Kamal KarimaSebuah Puisi: Ekdisis (Mlungsungi)
Ditulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal Karima
Tulisan ini menggambarkan perjalanan batin yang penuh dengan luka, pertanyaan, dan pencarian makna. Kulit yang disebut sebagai "kota mati" melambangkan diri yang telah terkikis oleh pengalaman-pengalaman pahit, seolah-olah setiap selnya menjadi tembok rapuh yang menahan beban emosi dan keraguan. Penulis mempertanyakan apakah luka-luka yang dialami akan menjadi kekuatan ("sayap") atau hanya ilusi yang tak bermakna. Ritual "mlungsungi" (mungkin merujuk pada proses introspeksi atau pelepasan) dijelaskan sebagai kuburan tempat nama-nama masa lalu dikuburkan, seolah-olah identitas lama telah mati dan menjadi nisan yang bisu, tak lagi dikenang atau dihormati.
Tubuh digambarkan sebagai pantai yang tercabik badai, dengan sungai-sungai yang mengalir ke masa lalu, membawa kenangan yang menyakitkan. Penulis berusaha melepaskan diri dari "kulit yang membatu," tetapi yang tersisa hanyalah bayang-bayang yang bersembunyi di antara hujan, merangkak seperti ulat, mencoba bertahan di antara retakan langit dan dahan-dahan yang menua. Gambaran ini melambangkan perjuangan untuk melepaskan diri dari masa lalu yang membebani, namun tetap terjebak dalam bayang-bayang yang tak bisa sepenuhnya dihilangkan.
Di akhir tulisan, penulis merenungkan proses perubahan dan pelepasan diri, seperti ngengat yang memakan cahayanya sendiri atau ular yang mengganti kulitnya di laut beku. Laut itu diibaratkan ada di dalam dada, dengan gelombang suara yang akhirnya terdampar sebagai diam. Museum tubuh menjadi tempat bagi patung-patung yang belum selesai, simbol dari identitas yang terus berubah dan belum menemukan bentuk akhir. Tulisan ini diakhiri dengan gambaran tengkorak di tepi sungai, bukan sebagai kematian, melainkan sebagai "ekdisis terakhir" (proses pergantian kulit) dari perjuangan yang akhirnya menemukan henti. Penulis menyatakan bahwa semua ini dilakukan "demi puisi," seolah-olah puisi adalah cara untuk mengolah luka dan menemukan kedamaian dalam prosesnya.
#ardikamal #literasi #penulis #dialogue #dialog #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyairindonesia #syaircinta #cinta #patahhati #manusia