Terimakasih ayah untuk kebaikanmu selama ini. Aku tahu, kau ingin selalu menjagaku.

Awalnya aku punya candamu, punya senyummu, punya gombalanmu yang selalu membuatku tersenyum. Sekarang aku hanya punya cinta berhiaskan kenangan indah, sepenggal ingatan tentang janjimu, hangat bekas pelukanmu, manis ciumanmu.

Dia menghilang tanpa kata. Aku hancur, sehancur-hancurnya. Tapi meskipun dia berbuat seperti itu, sampai detik ini rasa sayang, rasa pengharapanku padanya masih saja kuinginkan. Walaupun dia telah melukis luka yang teramat dalam.

Kau membawa semua hal indah dari hidupku, terkubur bersama duka.

Seharusnya aku mati bersamamu, daripada hidup bagai di neraka seperti ini.

Mungkin memang benar kata orang kalau waktu yang bisa merubah, waktu yang bisa membuatku move on. Tapi, kapan?

Jodoh, takdir, memang kita tidak tahu akan seperti apa. Tapi kita harus percaya bahwa Tuhan punya skenario yang indah untuk sebuah rasa sakit yg pernah kita rasakan.

Aku yang salah karna membawanya masuk di persimpanganku ini...

Malam itu tanggal 10 Juli jam 8 malam. Aku berjalan sendirian tanpa tujuan dengan alasan membuang penat. Aku terhenti dan duduk di pinggir lapangan dengan secangkir kopi. Aku lihat dari kejauhan ada seorang perempuan berhijab hitam duduk sendirian di tengah lapangan. Dia terlihat sedang tidak baik-baik saja.

Ada saatnya berharap, ada saatnya untuk berhenti berharap. Ada saatnya memperjuangkan, ada saatnya untuk mengikhlaskan.

“Sahabat sejati adalah ia yang menemanimu saat semua orang pergi menjauhimu” – Walter Winchell