Tidak ada hidup yang bermartabat kecuali sepenanggungan dengan Tuhan. Orang yang memiliki perasaan sepenanggungan dengan Tuhan adalah orang yang sungguh-sungguh bermartabat. Bermartabat tinggi, mulia. Lebih dari manusia mana pun di bumi ini, yang martabatnya dibangun oleh gelar, pendidikan, ekonomi, pangkat, kekuasaan, penampilan, dan lain sebagainya. Selagi kita masih memiliki kesempatan hidup dan mencapai kehidupan yang bermartabat tinggi, mari kita usahakan itu. Jangan sampai kita kehilangan kesempatan. Hidup yang bermartabat tinggi adalah hidup sepenanggungan dengan Tuhan. Sepenanggungan, artinya ikut merasakan apa yang Tuhan rasakan; memikul beban seperti yang Tuhan pikul. Ini adalah sesuatu yang istimewa dan bisa kita capai, asal kita sungguh-sungguh berusaha dengan usaha yang benar, proporsional, dan maksimal.
Lukas 22:28-30, “Kamulah yang tetap tinggal bersama-sama dengan Aku dalam segala pencobaan yang Aku alami. Dan Aku menentukan hak-hak Kerajaan bagi kamu, sama seperti Bapa-Ku menentukannya bagi-Ku, bahwa kamu akan makan dan minum semeja dengan Aku di dalam Kerajaan-Ku dan kamu akan duduk di atas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel.”
Kita nyaris tidak percaya bahwa orang percaya diperkenankan duduk semeja dengan Tuhan, artinya menjadi tamu-tamu kehormatan. Bahkan akan duduk di atas takhta. Kalau kita membaca dalam kitab Wahyu, ada takhta-takhta. Tentu selain takhta Bapa dan Tuhan Yesus yang menjadi objek penyembahan kita, ada takhta-takhta orang-orang yang menjadi penguasa, raja-raja; “r” kecil. Namun, apakah kita yakin akan hal ini, seberapa kita percaya akan hal ini, bahwa ada kehidupan yang akan datang di mana ada pemerintahan Allah? Tentu Yesus Kristus yang akan menjadi Raja, menerima segala kuasa di surga dan di bumi dari Allah Bapa, yang akan memegang pucuk pimpinan Kerajaan Allah.
Kita adalah raja-raja kecil, penguasa-penguasa yang dipercayai untuk mengatur masyarakat. Ini martabat yang tinggi, yang bisa diperoleh seseorang di dalam kekekalan. Seseorang bisa bermartabat tinggi di mata manusia hari ini karena kekayaan, kedudukan, gelar dari pendidikan, pangkat, dan lain sebagainya, tetapi itu tidak lama. Semua pasti berakhir. Namun, menjadi orang yang dimuliakan bersama dengan Tuhan Yesus, itu kekal. Bersyukur, kita mendapat kesempatan untuk itu. Umat pilihan adalah umat yang dipersiapkan, jika mau, untuk menerima kemuliaan bersama-sama dengan Tuhan Yesus, tetapi seberapa kita percaya akan hal ini dan seberapa kita bersedia menginvestasikan hidup, waktu, tenaga, pikiran untuk ini?
Ini bukan omong kosong. Ini adalah perkataan Tuhan yang pasti akan digenapi. Alkitab mencatat bahwa di akhir zaman akan terjadi kemurtadan besar. Matius 24:12, “Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin.” Karena kedukaan bertambah-tambah, maka orang yang memberontak kepada Allah juga bertambah. Orang yang berkhianat kepada Allah juga bertambah. Mereka adalah orang-orang Kristen tentunya, yang tidak pindah agama, tetap menjadi Kristen dan ke gereja. Mungkin masih aktif dalam pelayanan, bahkan mungkin jadi pendeta. Tetapi mereka tidak tetap tinggal bersama-sama dengan Tuhan. Artinya, tidak sepenanggungan dengan Tuhan.
Setiap kita bisa memilih untuk tidak sepenanggungan dengan Tuhan; memilih hidup nyaman. Tidak usah bertanya kepada Tuhan, “Apa yang harus kulakukan, Tuhan?” Kalau kita bertanya, lalu Tuhan memberikan jawaban dengan menempatkan kita di tugas-tugas tertentu, itu bisa merepotkan hidup dan membuat kita tidak menikmati dunia. Namun, kita tidak memilih itu. Kita mau bertanya, “Apa yang harus kulakukan, untuk-Mu, Tuhan?” Ini adalah pilihan. Ini bukan sesuatu yang bisa terjadi dengan sendirinya. Pertanyaannya, pernahkah kita memilih hidup sepenanggungan dengan Tuhan? Pernahkah kita memperkarakan ini?
Ironis, pada umumnya tidak. Pada umumnya, orang sibuk dengan kesenangan dan kepuasannya sendiri. Beli barang-barang,