Tentu semua orang yang sehat pikirannya atau orang yang normal, menghendaki hari yang menyenangkan dan indah di setiap harinya. Karenanya, mereka melakukan berbagai kegiatan setiap harinya, agar dengan kegiatan-kegiatan tersebut, mereka memiliki hidup atau hari yang indah. Namun kenyataannya, kita melihat manusia tidak pernah puas dengan hari hidup yang dimilikinya. Kalau ia sudah bisa mencapai sesuatu yang dia pikirkan akan bisa membahagiakan dirinya, menjadikan hidup dan harinya indah, ternyata belum atau tidak. Maka, ia melakukan kegiatan lagi yang dia pikir dapat meningkatkan kualitas hidup guna mencapai hidup dan hari yang indah. Dan manusia terus terperangkap dalam obsesinya, cita-cita dan keinginan tersebut, sampai tubuh menjadi rentan, tua, tidak mampu melakukan kegiatan apa-apa, kemudian berakhir pada kematian.
Demikianlah pada umumnya orang mengisi hari hidupnya. Kita semua tanpa kita sadari, atau banyak orang tanpa mereka sadari, terjebak pula dengan penyelenggaraan hidup seperti ini; termasuk para hamba Tuhan. Hanya bedanya terletak pada jenis kegiatannya saja. Yang lain, menjadi pedagang, praktisi hukum, tenaga medis, pengajar di pendidikan umum. Sedangkan kelompok orang yang merasa melayani Tuhan, ada di lingkungan Sekolah Tinggi Teologi, di lingkungan pendeta atau kantor sinode. Namun esensinya dan substansinya sama. Lalu bagaimana agar kita bisa memiliki hari atau hidup yang indah? Hidup yang indah tercipta kalau kita bisa menyenangkan atau menyukakan hati Allah; melakukan apa yang Allah kehendaki untuk kita lakukan. Karena hakikat Allah—yaitu tidak memaksa—maka Allah memberi kebebasan kepada individu, maka Allah menghendaki agar kita dengan rela menyelenggarakan hidup, melakukan apa yang Allah kehendaki untuk kita lakukan. Di situlah keindahan hidup. Dan akan semakin indah, ketika akurasi atau ketepatan kita bertindak itu semakin tinggi.
Entah kita adalah pria atau wanita, menikah atau tidak, punya anak atau tidak, kaya atau miskin, berkedudukan tinggi di mata manusia atau tidak, apa pun tidak menjadi masalah, namun kita harus berani mengambil langkah ini, bahwa keindahan hidupku, hari baikku adalah ketika aku melakukan apa yang Bapa kehendaki. Kita melakukannya dengan rela, bukan paksaan. Dan tentu ini perlu proses sinkronisasi, penyesuaian; kita mensinkronkan kehendak kita pada kehendak Allah. Bukan Allah yang menyesuaikan diri kepada kita. Ini adalah tanggung jawab yang harus kita penuhi. Ini tidak bisa terjadi atau berlangsung secara otomatis. Hal ini harus diupayakan atau harus kita kondisikan. Sebagaimana tertulis dalam Efesus 2:10, “karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau supaya kita hidup di dalamnya.”
“Ia mau supaya kita hidup di dalamnya,” kalimat ini menunjukkan bahwa kita tidak otomatis menjadi seseorang yang melakukan pekerjaan baik yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Maka kita harus mengupayakan bagaimana menjadi buatan Allah—yang diciptakan dalam Kristus Yesus—untuk melakukan pekerjaan baik yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Jadi ada standar pekerjaan baik yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Allah memiliki suatu standar; “Standar Kerajaan Allah.” Jadi, apa yang mesti kita lakukan? Kalau kita membaca ayat-ayat sebelumnya—dan kita lepaskan dari ayat ini—maka terkesan bahwa kasih karunia yang diberikan itu sudah otomatis membuat kita menjadi orang baik, lalu selamat. Ayat 1, “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu.” “Mati” di sini artinya adalah keadaan di mana seseorang tidak mampu mencapai standar Kerajaan Allah.
Jangan kita membuat manusia berkeadaan fatalistis. Mengambil ayat dalam kitab Yesaya, “semua manusia berdosa, kebaikannya seperti kain kotor.” Jangan ini dikenakan kepada semua orang. Itu dikenakan untuk bangsa Israel yang pada waktu itu memang memberontak, hidup mereka tidak sesuai Taurat.