Satu hal yang kita harus ingat, bahwa pada intinya Tuhan mau menyeberangkan kita dari dunia ini ke tanah perjanjian, seperti bangsa Israel yang harus keluar dari Mesir karena itu bukan tanah perjanjian. Tanah perjanjian itu adalah Kanaan. Maka, mereka harus keluar dari Mesir menuju Kanaan. Dan ini analogi dengan kita, bahwa dunia bukan rumah kita. Tuhan Yesus berkata: “you are not of the world, we are not of the world;” kita bukan dari dunia ini. Tuhan Yesus mengatakan di depan Pilatus secara tegas: “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini.”
Jangan berkhianat kepada Tuhan dengan sikap feel at home; dengan sikap merasa betah di bumi ini, sebab dunia bukan rumah kita. Tuhan mau menyeberangkan kita, dan sebenarnya sedang menyeberangkan kita dari dunia ini ke tanah perjanjian. Tanah perjanjian kita itu Yerusalem Baru, yang untuk hal ini, Tuhan berkata di Injil Yohanes 14, “Aku pergi menyediakan tempat bagimu.” Jangan sampai Tuhan Yesus sudah lelah-lelah mempersiapkan tempat bagi kita dengan pengorbanan-Nya, namun kita tidak seiring dengan Tuhan, yang mau membawa kita ke tanah perjanjian itu. Maka, kita harus senantiasa mengingat bahwa dunia bukan rumah kita.
Kalau orang bukan umat pilihan, mereka disibukkan bagaimana membuat hidupnya berbunga-bunga menikmati dunia ini. Sementara, kita harus belajar melepaskan segala keterikatan dengan dunia. Firman Tuhan mengingatkan kita di Ibrani 4:1, “sebab itu, baiklah kita waspada, supaya jangan ada seorang di antara kamu yang dianggap ketinggalan, sekalipun janji akan masuk ke dalam perhentian-Nya masih berlaku.” “Masih berlaku,” artinya kita harus memperhatikan sungguh-sungguh, dengan benar-benar serius.
Perhatikan kalimat ini: “jangan ada seorang di antara kamu yang ketinggalan.” Jadi, ada kemungkinan bisa ketinggalan. Dan kemungkinan besar, itu terjadi kepada kita. Atau kalau kita gunakan kata yang lebih sejuk, “kemungkinan kecil.” Namun, tetap kemungkinan itu ada. Jadi, kita harus mempertimbangkan ini dengan serius. Kita harus selalu alert; waspada, karena kemungkinan ketinggalan itu bisa terjadi atas hidup kita. Jangan sampai kita ketinggalan.
Ketika masih dalam keadaan tubuh sehat, tidak dalam keadaan sekarat, tidak dalam bahaya maut atau tidak ada dalam ancaman kematian, mungkin kita menganggap remeh kalimat ini. Tetapi kalau kita ada di ujung maut, dalam kondisi sekarat atau nyawa kita terancam, kita akan lebih memperhatikan apa yang firman Tuhan katakan tersebut. Tetapi, jangan menunggu kita sekarat atau dalam keadaan terancam dulu, baru kita memperhatikan hal ini dengan serius. Sejak sekarang, mari kita memperhatikan hal ini.
“Jangan ada di antara kamu yang dianggap ketinggalan.” Maka dikatakan di kalimat sebelumnya di Ibrani 4:1 ini, “baiklah kita waspada.” Kita pasti punya kewaspadaan untuk banyak hal; demi usaha tidak bangkrut, demi tubuh sehat, demi anak-anak aman. Supaya tidak ada pencuri masuk ke dalam rumah, maka pagar ditinggikan dan diberi duri atau pecahan kaca. Supaya anak-anak bisa sekolah, kita mengambil asuransi pendidikan. Supaya kalau sakit ada yang menanggung biaya rumah sakit, kita ikut asuransi. Itu namanya kita waspada, dan itu sesuatu yang bagus karena itu sikap berjaga-jaga.
Tetapi untuk kekekalan, apakah kita juga cukup waspada? Mestinya kewaspadaan kita lebih besar, atau bahkan mestinya ini satu-satunya kewaspadaan yang kita miliki. Pasti sebagian kita ada yang tidak alert; tidak waspada untuk hal ini, sehingga dalam keadaan ketinggalan. Kalau hari ini Tuhan mengingatkan kita, mari kita bangkit dan menjadi waspada. Jangan sampai ada yang ketinggalan. Ingat, sebagian dari kita, selama ini ada yang tidak waspada secara proporsional. Untuk yang lain, memiliki sikap waspada tinggi. Tapi untuk hal kekekalan ini, waspada kita rendah atau bahkan tidak waspada sama sekali. Mari, kita bertobat.
“Jangan ada di antara kamu yang dianggap ketinggalan, sekalipun janji akan masuk ke dalam perhentian-Nya masih berlaku.