Dari Rabb-Malik-Ilah, Maiyah mendapatkan pendekatan atau rumus manajemen hidup. Dan secara menukik ke realitas, melalui kacamata pendekatan Rabb-Malik-Ilah, yang terlihat di dalam masyarakat kebanyakan adalah kebalikan urutan ketiga fungsi tersebut. Kebanyakan orang sibuk dan ribut pada ‘eksistensi diri atau meng-“ilah”-kan diri. Para politikus menonjolkan dirinya di hadapan masyarakat untuk mendapatkan “kuasa atau malik”, yang seakan-akan nanti mereka akan memberikan “rabb” atau pengayoman atau kesejahteraan setelahnya, tetapi ternyata sesudah terpenuhi “malik”-nya, tidak juga “robbin naas”, tidak juga memberikan sesuatu buat masyarakat. Maiyah membatasi dan mengoptimalkan diri pembelajaran dan langkah-lakunya pada “Rabbin Naas”. Sebab Maiyah mengerti bahwa “ilah” itu mudah, bahwa mengedepankan eksistensi diri itu gampang, “aku ini, aku itu, ini lho aku…”, tetapi menjalankan “rabb” itu tidak mudah. Dalam praktiknya, impelementasi kesadaran “rabb” berlaku dalam bidang atau lapangan apa saja. “Saya nggak pernah sentuh ‘ilah/eksistensi’ dan ‘malik/kekuasaan’, tetapi lebih banyak mengerjakan ‘rabb/pengasuhan’ pada perpolitikan nasional,” ujar Cak Nun.