Menjadi Kristen berarti membawa diri kepada masalah besar. Karena ketika kita menjadi orang Kristen, kita harus mengikut jejak Tuhan Yesus. Jejak Tuhan Yesus adalah pertumbuhan atau progresivitas untuk bisa melakukan segala sesuatu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. Ini merupakan perjuangan yang bisa terwujud kalau kita melepaskan segala sesuatu. Firman Tuhan mengatakan dalam Lukas 14:33, “kalau kamu tidak melepaskan dirimu dari segala milikmu, kamu tak dapat jadi murid-Ku.” Oleh sebab itu, kita tidak bisa memiliki Kerajaan Surga tapi juga memiliki dunia; kita tidak bisa memiliki Tuhan tapi juga memiliki dunia. Bahkan, kita pun tidak berhak memiliki diri sendiri dan juga memiliki Tuhan. Memang konsekuensi menjadi anak tebusan Allah adalah kita harus melepaskan diri kita untuk dimiliki Allah guna proses dikembalikannya manusia kepada rancangan semula dapat berlangsung dengan baik.
Kalau kita masih merasa memiliki diri kita, merasa berhak memiliki kesenangan, merasa berhak memiliki kebahagiaan, proses untuk dikembalikan kepada rancangan Allah tidak akan terwujud; atau proses keselamatan itu tidak bisa berlangsung. Dengan demikian, kalau kita memiliki komitmen sungguh-sungguh mau ikut Yesus, kita hanya memiliki satu saja: Tuhan. Hanya Tuhan yang menjadi milik kita. Kebanggaan kita adalah memikul salib. Kebanggaan kita adalah menyangkal diri. Kebanggaan kita hanyaalah melakukan kehendak Bapa. Kurang dari itu, tidak bisa. Menjadi orang Kristen itu benar-benar seperti orang yang dibawa ke pembantaian; seperti domba kelu dibawa ke pembantaian. Kita hanya bisa berkata “Ya, aku bersedia, Tuhan.” Inilah orang yang telah berhenti memiliki dirinya sendiri.
Memang proses menjadi orang percaya yang benar ini tidak bisa terjadi dalam waktu singkat karena harus melalui proses yang panjang dan juga menyakitkan. Tetapi proses seperti ini luar biasa indahnya ketika kita dapat merasakan damai sejahtera yang melampaui segala akal di tengah-tengah pergumulan hidup yang kita alami untuk menjadi serupa dengan Yesus atau memiliki pikiran dan perasaan Allah. Akhirnya, kalau dulu kita menikmati dosa, menikmati kepuasan-kepuasan daging—seperti kuliner, seks, kehormatan manusia, pujian, sanjungan, uang, kita merasa bangga memiliki ini dan itu, kita merasa terpandang dengan kedudukan, pangkat, dan lain-lain—namun sekarang, kita bisa menikmati kesucian. Kalau kita menikmati segala sesuatu yang berasal dari dunia ini, kita pasti terjebak dalam kecanduan yang membuat kita makin terpisah dari Allah dan kita mengeliminir Allah; kita memisahkan diri dari Allah. Dengan kata lain, berarti kita keluar dari hadirat Allah.
Tetapi, kalau kita sungguh-sungguh mau melakukan kehendak Allah, menjadi orang-orang yang bersedia sungguh-sungguh dikembalikan ke rancangan semula lewat proses yang berlangsung, maka kita bisa menikmati kesucian Allah. Kesucian itu bisa dinikmati, terutama pada saat kita berkesempatan berbuat dosa dan menolak dosa itu. Ketika kita dilukai, kita disakiti, diperlakukan tidak adil, lalu kita berkata, “Baik, kuampuni kamu. Kuanggap tidak ada masalah.” Kita berdoa, “Tuhan, ampuni dia karena dia tidak tahu apa yang dia perbuat.” Ini menyakitkan diri sendiri. Tapi sakit yang kita nikmati, itulah kesucian. Ketika kita karena jujur menjadi miskin, karena jujur kita tidak punya rumah bagus, karena jujur kita tidak punya kendaraan, tetapi kita menikmati kesucian itu. Ketika tertindas, diperlakukan tidak adil, kita menjadi terbelakang, kita menjadi orang yang diinjak-injak, tetapi kita menjalani dengan sukacita karena kita tidak mau berbuat dosa, di situ kita menikmati kesucian Allah.
Dalam keadaan menikmati kesucian Tuhan, kita seperti diangkat terbang tinggi. Kita masuk dalam dimensi Allah. Kita akan bisa mengerti rencana-rencana Allah di dalam hidup kita melalui perjalanan hidup seperti ini. Baru kita bisa mengerti apa artinya ‘krek’ (menyatu) dengan Allah. Kita baru bisa mengerti karena mengalami apa artinya Allah itu hid...