“Duhai Kasih,
Di bawah kolong langit aku menatapmu dalam kegelapan
Di tengah lebatnya pepohonan yang menjadi rumahku
Auman singa yang menggetirkan jiwaku
Lolongan anjing hutan yang mengguncangkan sekujur tubuhku
Angin yang berdesis, air yang mengalir, hiruk pikuk suara binatang kecil menjadi sahabat
baikku
Kasih, namun air mata yang jatuh dari kedua mataku membuat aku sadar, bahwa kau tak
lagi sudi memandang ke arahku
Duhai Kekasihku,
Lihatlah aku! sekejap saja.
Lihatlah ratapanku menangisi kepergianmu tanpa sebab yang aku tahu
Tataplah duhai cintaku! tataplah kedua mataku yang mulai meneteskan darah
Pandanglah aku! yang mulai merapuh mengharapkan kepulanganmu kembali
Pulanglah duhai cintaku ,jatuhkan tubuhmu kembali ke dalam pelukanku
Pulanglah! Pulanglah duhai kekasih hatiku.
Begitu lamanya kau membiarkan aku diamuk kerinduan
Rindu menatap kedua matamu yang jelita
Rindu mengecup kedua bibirmu yang siapa saja memandangnya menimbulkan berahi
Aku rindu, rindu menidurkanmu dalam pelukanku
Aku rindu hanyut dalam syair-syair cintamu
Tapi, semua itu takkan lagi pernah aku dapatkan
Karna aku, dengan segala nafsu bejatku telah mengkhianati cinta sucimu
Aku telah menodai putih kasihmu kepadaku
Aku hina, aku kotor, aku berdosa kepadamu
Aku dengan segala penyakit yang ada di hatiku, membagi tubuhku bersama wanita yang
bukan dirimu
Maafkanlah! Maafkanlah duhai Kasihku.
Masih sudikah kau, andai aku kembali ke ragamu, bahkan jiwamu?