Tanpa disadari, banyak orang Kristen memperlakukan Allah belum sepantasnya. Hal ini bisa disebabkan, yang pertama karena pengaruh dunia sekitar kita, bagaimana orang-orang beragama memperlakukan ilah, allah, atau keyakinan-keyakinan dari agama-agama suku memperlakukan ilah atau dewa-dewanya. Akibat dari pola sikap dan perilaku orang di sekitar kita terhadap ilah, allah, atau dewanya, kita tergarami atau terpengaruhi. Hal tersebut bisa membangun cara berpikir yang kemudian terkristal dalam sikap terhadap sesembahan. Dan sikap itulah yang kita kenakan dalam berhubungan dengan Allah semesta alam, Elohim Yahweh, Allah dan Bapa Tuhan kita, Yesus Kristus.
Yang kedua, karena pengajaran yang tidak lengkap dari mereka yang mengaku sebagai hamba Tuhan, sebagai jurubicara Tuhan, dan sekaligus sikap hidupnya. Baik sikap keseharian atau pada waktu ia di mimbar, menyanyi, dan berdoa. Ingat, kita berurusan dengan Pribadi Agung yang kebesaran-Nya tiada tara. Yesaya 40:12 mengungkapkan betapa dahsyat Allah yang kita sembah. Pengertian “dahsyat” jangan diukur dari cara orang beragama di sekitar kita memperlakukan allah atau ilahnya. Banyak orang Kristen yang belum dewasa, bicara mengenai kedahsyatan Allah hanya selalu dikaitkan dengan kuasa-Nya, mukjizat-Nya. Padahal, mestinya tidak sedangkal itu.
Di dalam Yesaya 40:12 tertulis, “Siapa yang menakar air laut dengan lekuk tangannya dan mengukur langit dengan jengkal, menyukat debu tanah dengan takaran, menimbang gunung-gunung dengan dacing, atau bukit-bukit dengan neraca?” Kalau kita melihat laut pada waktu naik kapal atau kita sedang naik pesawat, betapa luasnya. Allah lebih luas dari lautan, bahkan dengan tangan-Nya, Ia mampu menakar air laut dengan lekuk tangan-Nya. Ia dapat mengukur langit dengan jengkal. “Siapa yang dapat mengatur Roh Tuhan atau memberi petunjuk kepada-Nya sebagai penasihat?” Kita sering mendengar orang berdoa dan meminta, dengan berunsur mengatur Allah, menasihati Allah dalam permintaannya; “Tuhan, aku mau begini supaya begini. Kalau Engkau kabulkan doaku demikian, maka aku demikian.”
Jangan mengecilkan arti Allah. Itu dilakukan oleh orang-orang terhadap dewa-dewanya. Di antaranya, sikap unsur transaksional dalam berinteraksi dengan Allah. Jangan memperlakukan Allah seperti itu. Ironis, justru hal ini terjadi pada orang Kristen, khususnya mereka yang bisa berbicara cakap mengenai Allah, bertindak seakan-akan itu kehendak Allah atau dalam persetujuan dengan Tuhan. Secara tidak langsung dia mau mengatur, menasihati Tuhan dengan tindakan tersebut. Ayat selanjutnya, “Sesungguhnya, bangsa-bangsa adalah seperti setitik air dalam timba dan dianggap seperti sebutir debu pada neraca. Sesungguhnya, pulau-pulau tidak lebih dari abu halus beratnya. Libanon tidak mencukupi bagi kayu api dan margasatwanya tidak mencukupi bagi korban bakaran.” Jangan merasa dengan nyanyian, musik, dinamika suara vokal sehebat apa pun berarti kita sudah memberikan persembahan yang menyenangkan Tuhan.
Bukan berarti hal itu tidak menyenangkan Tuhan, tetapi ada yang lebih harus kita tahu dan lakukan. Apa yang kita lakukan dalam ibadah, seharusnya mewakili kehidupan kita setiap hari. Jika tidak, berarti kita menipu Tuhan. Tidak cukup persembahan-persembahan atau ritual dengan tari-tarian; bukan tidak boleh melakukan pujian, penyembahan kepada Tuhan dengan nyanyian, tarian, banner, dan lainnya, namun jangan merasa itu sudah cukup. “Segala bangsa seperti tidak ada di hadapan-Nya. Mereka dianggap-Nya hampa dan sia-sia saja.” Ini bangsa, komunitas. Apalagi individu. Bumi kita itu seperti debu, sebab ada planet yang besarnya hampir 200.000 kali dari besarnya bumi. Betapa kecilnya bumi ini, seperti debu. Apalagi kita, debu di dalam debu. Jadi, siapakah kita ini?
Ayat 25, “Dengan siapa hendak kau samakan Aku, seakan-akan Aku seperti dia? firman Yang Mahakudus.” Allah bukan patung, dewa-dewi atau ilah-ilah yang diciptakan manusia. “Arahkanlah matamu ke langit dan lihatlah: siapa y...