Ardi Kamal Karima

Masuk Rumah Hantu


Listen Later

Sebuah Puisi: MASUK RUMAH HANTU

Ditulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal Karima


Puisi "Masuk Rumah Hantu" menggambarkan perjalanan psikologis melalui ruang-ruang kegelapan yang metaforis, merepresentasikan pikiran dan emosi yang terpecah. Rumah hantu itu sendiri bisa dimaknai sebagai jiwa atau ingatan yang terluka, di mana sang aku lirik berhadapan dengan kebimbangan ("dinding bimbang"), ketakutan ("suara tulang retak"), serta identitas yang retak ("cermin yang bolong"). Imaji seperti "langkah pertama berjubah sumpah" dan "debu yang menolak tumpah" mengisyaratkan upaya mempertahankan kendali atas ingatan atau trauma yang terus mengancam, sementara bayang-bayang dan lorong bisu mencerminkan kesepian dan kegagalan komunikasi. Ruang pertama ini menjadi simbol konflik internal antara keberanian menghadapi masa lalu dan keinginan untuk melarikan diri.


Di kamar kedua, waktu menjadi penjara yang menggerogoti ("jam dinding menggigit nadiku"). Detik-detik yang "menjalar" dan "jari-jari tumbuh menjadi basah" menyiratkan kecemasan yang tak terelakkan, seolah waktu justru memperparah luka psikis. Tangga menuju "rongga di dada" dan "ular kabut" yang menggulung kata-kata tak terucap menguatkan tema represi emosi. Ular, sering kali simbol pengetahuan atau bahaya tersembunyi, di sini justru membungkam suara, menunjukkan betapa pengalaman atau perasaan yang tak pernah diekspresikan akhirnya mengkristal menjadi beban. Pertanyaan "mimpi atau simulasi?" serta bayi yang hilang di ruang bawah tanah menambah lapisan eksistensial: apakah penderitaan ini nyata atau ilusi, dan bagaimana cara merawat "bayi" (mungkin harapan atau masa kecil) yang terabaikan?


Di ruang terakhir, klimaks puisi ini mengungkap keputusasaan yang paradoks. Sang aku lirik menemukan dirinya sendiri yang statis, "duduk di kursi berlumur lumut," memeluk kontradiksi antara cinta dan kebencian. Pintu yang "mengetuk seperti kupu-kupu ingin menjadi larva" adalah ironi: keinginan untuk regresi atau mengulang masa lalu justru tak mungkin, sebagaimana kupu-kupu tak bisa kembali jadi larva. Pencarian "kunci yang mungkin tak pernah ada" menjadi simbol absurditas usaha manusia mencari jawaban atau penebusan dalam hidup, sementara trauma dan pertanyaan terus menghantui. Puisi ini menutup dengan kesadaran bahwa terkadang, yang tersisa hanyalah keberanian untuk tetap berada dalam ketidakpastian, merangkul kehancuran diri sebagai bagian dari proses menjadi.


#ardikamal #mentalillnes #mentalhealth #depression #depresi #syair #literasi #penulis #poem #puisi #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra

...more
View all episodesView all episodes
Download on the App Store

Ardi Kamal KarimaBy Ardi Kamal Karima