Dulu kita berpikir dan yakin bahwa kita tidak bisa hidup suci. Kata “suci” bagi kita—dan orang pada umumnya—adalah kata yang sangat sakral, keramat, dan tidak akan pernah dapat kita jangkau. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, ketika kita mengenal kebenaran dan mengalami banyak perjumpaan dengan Allah, kita makin melihat bahwa kesucian adalah suatu keniscayaan. Allah tidak mungkin berdusta ketika Ia berkata, “Kuduslah kamu sebab Aku kudus.” (1Ptr. 1:16). Allah pun tidak mungkin mengada-ada ketika Allah berkata, “Keluarlah kamu dari antara mereka. Jangan menjamah apa yang najis. Maka Aku akan menerima kamu sebagai anak-anak-Ku laki-laki dan anak-anak-Ku perempuan,” (2Kor. 6:17-18) dan banyak lagi ayat Firman Tuhan yang jelas-jelas menunjukkan bahwa sebagai umat pilihan, kita dipanggil untuk hidup tidak bercacat tidak bercela; hidup dalam kekudusan, sempurna seperti Bapa, serupa dengan Yesus, dan mengenakan kodrat ilahi.
Dalam perjalanan mengarungi hidup kekristenan dan berusaha untuk mengenakan kebenaran, di dalamnya termasuk bagaimana hidup tidak bercacat, tidak bercela, kita mengalami jatuh bangun. Tetapi kemudian kita tahu bahwa kesucian itu bisa kita capai. Itu tergantung pada tekad dan niat kita. Kalau kita benar-benar bertekad; kalau ada niat yang benar-benar kuat untuk mencapai kehidupan yang tidak bercacat, tidak bercela atau untuk memiliki kekudusan sesuai dengan standar Bapa, maka kita dapat melihat kemungkinan yang lebih besar, keniscayaan yang lebih nyata dalam mencapai kekudusan tersebut.
Kesucian harus dirajut, dengan usaha merajut setiap hari dari hal-hal kecil, dari hal-hal sederhana. Dari hal-hal kecil dan dari hal-hal sederhana tersebut, kita melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan yang menyimpang atau meleset. Kesucian di dalam Tuhan bukan hanya melakukan hukum atau tidak melanggar norma umum, tetapi dalam segala sesuatu yang kita lakukan selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. Jadi kita bisa mengerti mengapa Firman Tuhan mengatakan agar kita memiliki pikiran dan perasaan Kristus (Flp. 2:5-7). Memiliki pikiran dan perasaan Kristus artinya agar dalam segala hal yang kita lakukan, semua tindakan kita—baik yang kita pikirkan, ucapkan, dan lakukan—selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah.
Dalam berjuang mencapai kesucian, kita harus mulai dari hal-hal kecil, dari hal-hal yang kelihatannya sederhana. Dari perjuangan kita untuk memiliki ketepatan bertindak sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah yang dimulai dari hal-hal kecil dan dari hal-hal sederhana tersebut, kita dapat menemukan “monster-monster kecil” di dalam diri kita. “Monster besar” seperti perzinaan, kebencian, sikap tidak mengampuni orang, dendam, jelas itu merupakan kesalahan atau dosa, dan itu sudah melekat dalam diri manusia yang berkodrat dosa. Itu adalah “monster besar.” Tetapi ada “monster-monster kecil,” seperti ketidaktulusan, kata-kata atau canda yang tidak tepat, dusta-dusta kecil, kebohongan-kebohongan terselubung, kesombongan-kesombongan terselubung yang sangat halus, yang jangankan orang lain, kita sendiri juga mungkin tidak sadar melakukan hal tersebut. Padahal, itu bertentangan dengan kesucian Allah.
Mencapai kesucian Allah berarti kita memiliki keagungan moral seperti Allah. Kalau standar keagungan moral kita harus seperti Bapa—sesuai yang dikatakan Tuhan Yesus bahwa kita harus sempurna seperti Bapa—maka dari hal-hal kecil dan dari hal-hal sederhana, kita sudah harus memiliki kekudusan, kesucian, dan ketepatan. Dari hal ini, kita bisa membangun kekudusan sesuai standar Allah. Kalau dari hal kecil atau hal sederhana kita tidak tepat, maka akan dilahirkan ketidaktepatan dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang lebih nyata, lebih besar. Kalau “monster-monster kecil” yang ada pada kita tidak kita temukan dan kita biarkan merajalela di dalam diri kita—yang terekspresi dalam pikiran, renungan hati, ucapan, dan perbuatan—maka berarti secara tidak langsung kita menghidupkan pula “monster-monster...