Firman Tuhan dalam Wahyu 3:19 berkata: “barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar. Sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah.” Ayat ini hendak mengundang kita semua untuk mengubah pola berpikir kita terhadap sesuatu yang merugikan, menyakitkan, atau melukai. Tidak jarang pikiran kita dapat berubah dengan didukung oleh impuls atau rangsang tertentu. Ketika kita mengalami perlakuan tidak adil, disakiti orang lain, dibenci, atau dimusuhi oleh orang lain, terkadang kita mulai dapat berpikir kembali dan merenungi diri kita. Ketika keadaan baik-baik saja, cenderung kita merasa nyaman dan tidak merasa perlu berubah. Oleh karenanya, tidak heran apabila Tuhan mengatakan teguran dan hajaran merupakan bagian dari kasih-Nya.
Dalam teks aslinya, kata “Kuhajar” berarti “memukul berulang-ulang.” Tuhan memukul berulang-ulang orang yang dikasihi-Nya sebagai anak. Pukulan ini tidak menandakan bahwa Tuhan jahat dan senang melihat kita menderita. Namun, dibutuhkan rangsang atau impuls untuk memicu perubahan dalam diri kita. Untuk itulah Tuhan mendatangkan “pukulan” yang dapat menyadarkan kita. Sesungguhnya, ini adalah sebuah berkat yang tidak perlu kita takutkan atau curigai. Sebaliknya, kita harus mensyukuri dan menerima segala hal yang terjadi sebagai hal yang ada dalam kebijaksanaan Allah. Dalam pertimbangan dan kebijaksanaan Allah yang sempurna, Ia memberikan kita berbagai vitamin rohani yang menyehatkan. Dengan demikian, jika seseorang marah terhadap suatu keadaan dimana ia dilukai, disakiti atau dirugikan, sejatinya itu merupakan sikap tidak menerima kebijaksanaan Allah. Allah menunjukkan kebijaksanaan-Nya yang di dalamnya memuat berkat kekal untuk pembentukan dan proses perubahan kita dengan diizinkan-Nya keadaan dimana kita disakiti, dirugikan, dilukai orang.
Seperti yang telah sering dikemukakan, Doa Bapa Kami bukan hanya formula kalimat doa, melainkan formula kehidupan. Formula kehidupan dari anak-anak Allah yang hendak dikembalikan kepada rancangan semula. Di antaranya ada kalimat, “Seperti kami mengampuni orang yang bersalah kepada kami.” Hal ini menunjukkan formula kehidupan yang benar dibangun dari perjumpaan dengan peristiwa yang tidak nyaman, yaitu harus ada orang yang bersalah kepada kita. Jika kita tidak perlu berjumpa dengan orang yang menyakiti kita, tentu Tuhan tidak perlu menyatakan kalimat di atas. Dengan eksisnya kalimat di atas dalam Doa Bapa Kami, ini menunjukkan bahwa dalam formula kehidupan orang percaya, ada unsur pahit atau tidak nyaman yang akan diperjumpakan dengan kita semua.
Untuk bisa menerima kebijaksanaan Allah ini, kita harus memiliki satu prinsip, yakni setiap orang yang mau sempurna seperti Yesus harus berada pada keadaan yang sama dengan Yesus. Maka lebih baik bagi kita menjadi seorang korban daripada pelaku. Ketimbang melakukan perbuatan jahat kepada orang lain, lebih baik bagi kita untuk dilukai. Sebab dengan dilukai tersebut, kita mengambil bagian yang sama dalam penderitaan Tuhan Yesus. Jika seorang petinju mau menjadi juara dunia, pasti ia cari sparing partner yang sesuai dengan kelasnya. Oleh karenanya, jika orang ingin menjadi seperti Yesus, tentu ia akan mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan yang tidak mudah.
Makin seseorang didewasakan Tuhan, tikaman terhadap dirinya makin dalam. Bukan hanya tindakan yang tidak menyenangkan, tetapi juga keadaan-keadaan dimana kita bisa dibawa kepada kerugian yang menyangkut nama baik atau harga diri kita. Orang yang melukai kita itu bisa saja orang jauh, tapi juga orang dekat. Bisa pasangan hidup, bisa orangtua, bisa anak kandung, bisa orang yang kita anggap menjadi teladan dan kita hormati, yang ternyata malah melukai kita. Kalau seseorang mau sempurna seperti Yesus, ia harus mendapat perlakuan seperti yang Yesus alami. Setiap kali mendapat perlakuan yang menyakitkan, merugikan, melukai, atau paling tidak keadaan dimana kita merasa tidak senang, kita harus sadar memang Tuhan yang mengizinkan hal tersebut untuk mewujudkan Do...