Dalam kisah Nuh, Tuhan bukan hanya berniat menyelamatkan keluarga Nuh, tetapi juga orang-orang yang mau masuk ke dalam bahtera, namun mereka menolaknya (Kej. 6-8). Pada zaman Nuh, orang sibuk makan dan minum, kawin dan dikawinkan sampai tidak memedulikan keselamatan. Dalam Alkitab, Nuh disebut sebagai pemberita kebenaran (2Ptr. 2:5). Tentu Nuh sudah berusaha mengajak orang-orang untuk ikut “proyek penyelamatan,” tetapi ternyata tidak ada yang mau. Dikatakan pula dalam 1 Petrus 3:20, bahwa Tuhan dengan sabar menantikan mereka untuk bertobat, sementara Nuh membuat bahtera. Bertahun-tahun Nuh memberitakan kebenaran atau seruan pertobatan dan Tuhan dengan sabar menunggu mereka untuk mengubah hati agar ikut proyek keselamatan bersama Nuh, tetapi mereka tetap mengeraskan hati. Sehingga, Tuhan membinasakan mereka semua. Penolakan manusia pada zaman Nuh tentu bukan rekayasa Tuhan atau Tuhan telah membuat mereka tidak dapat menerima pertolongan Tuhan.
Bahtera itu adalah jalan keselamatan agar keluarga Nuh, dan semua orang yang mau masuk ke dalam bahtera tersebut terhindar dari malapetaka. Bahtera itu adalah kasih karunia Tuhan untuk manusia pada waktu itu. Tetapi, mereka menolaknya. Hal ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak mengubah hati seseorang secara mistis sehingga membuat seseorang dapat menerima atau menolak pemberian-Nya. Tuhan menyediakan segala sesuatu yang baik bagi semua orang tanpa diskriminatif. Kalau ada orang yang menolak apa yang disediakan dan diberikan Tuhan kepadanya, itu adalah risiko dan tanggung jawab individu. Fakta mengenai kisah Nuh ini penting bagi orang percaya di zaman Perjanjian Baru. Itulah sebabnya, Tuhan Yesus memunculkan fakta ini dalam pengajaran-Nya (Luk. 17:26-27). Tuhan Yesus menunjukkan pola hidup manusia akhir zaman yang sama seperti manusia pada zaman Nuh, yang tidak memedulikan keselamatan jiwanya. Dalam pernyataan Tuhan Yesus, jelas tertulis: “Dan sama seperti terjadi pada zaman Nuh, demikian pulalah halnya kelak pada hari-hari Anak Manusia.” Pernyataan Tuhan ini jelas menunjukkan kesejajaran keadaan manusia pada zaman Nuh dengan zaman kita hari ini.
Hal tersebut sama dengan Tuhan yang juga memberi kesempatan manusia hari ini untuk bertobat dan diselamatkan. Tuhan dengan sangat serius berusaha menyelamatkan manusia agar tidak binasa. Tuhan tidak hanya berusaha menyelamatkan sebagian manusia dengan memberi kasih karunia kepada sebagian orang dan mengunci mereka supaya tidak dapat menolak kasih karunia-Nya, tetapi Tuhan tidak menghendaki seorang pun binasa (2Ptr. 3:9). Memang faktanya sebagian besar manusia menolak. Hal ini menunjukkan bahwa manusia hari ini memang memiliki kesempatan dan hak untuk menolak anugerah. Kebinasaan itu bukan penentuan Tuhan, melainkan pilihan masing-masing individu.
Kegagalan sebagian bangsa Israel mencapai tanah Kanaan pun bukan karena kesalahan Tuhan, juga bukan karena memang sebagian dari antara mereka ditentukan Tuhan untuk gagal mencapai tanah Kanaan. Jika Tuhan bertindak demikian, berarti Tuhan kejam dan jahat bagi mereka yang ditentukan tidak sampai tanah Kanaan, sebab mereka telah susah payah keluar dari Mesir dan bermimpi bisa memiliki sebuah negeri yang berlimpah susu dan madu ,serta tidak dalam tindasan bangsa lain. Ia bukan saja pasti tidak mengupayakan kecelakaan bagi umat pilihan-Nya, tetapi Ia juga tidak akan membiarkan mereka celaka. Kalau ternyata pada akhirnya ada sebagian bangsa Israel yang gagal mencapai tanah Kanaan, hal itu disebabkan oleh keputusan dan pilihan mereka sendiri. Dalam Ibrani 3:7-11 dikemukakan bahwa bangsa Israel mengeraskan hati, tidak mau taat kepada Allah walaupun selama 40 tahun mereka telah melihat perbuatan-perbuatan ajaib dan luar biasa dari Tuhan, dan Tuhan dengan sangat penuh perhatian telah menuntun mereka. Hal ini menunjukkan bahwa kegagalan mereka sampai tanah Kanaan disebabkan karena mereka keras kepala dan tidak tunduk kepada Tuhan.
Berkenaan dengan hal ini,