Kita harus berani keluar dari cara berpikir kita yang orientasinya hanya pemenuhan kebutuhan jasmani. Percayalah, Allah itu hidup. Masalah apa pun yang kita hadapi, pasti Allah berkenan tolong. Paling parahnya, kita hanya nyaris hancur, nyaris gagal. Dan Tuhan sering membawa kita dalam keadaan “nyaris,” supaya kita memandang Tuhan dan mencari Dia. Keadaan “nyaris, nyaris, nyaris,” inilah yang di Mazmur 73 membawa seseorang kepada kesadaran, bahwa hanya Allah yang dia butuhkan. Pemazmur mengatakan, “Siapa gerangan ada padaku di surga, selain Engkau? Selain Engkau, tidak ada yang kuingini di bumi.” Maka, jangan kita hidup tanpa perubahan. Milikilah komitmen atau tekad, “Aku makhluk yang memiliki pikiran dan perasaan, berarti aku makhluk kekal.”
Kematian fisik tidak menghentikan kesadaran. Kematian fisik hanya fisik yang berkalang tanah, yang dikubur. Tetapi jiwa, roh seseorang abadi dalam kesadaran. Kita sadari itu, “Aku harus berpikir dengan cara pandang kekekalan.” Sebab kalau tidak, maka kualitas hidup kita tidak jauh dari hewan. Hanya bedanya, kita makhluk cerdas yang bisa membuat penemuan, inovasi-inovasi, yang bisa memiliki kemampuan menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Binatang tidak bisa. Dari dulu, monyet hanya dari dahan ke dahan. Manusia hari ini, bukan hanya bisa punya gerobak seperti beberapa puluh abad yang lalu. Manusia bisa memiliki jet supersonik, pesawat yang menembus ruang angkasa yang jauh.
Manusia adalah makhluk yang harus bertanggung jawab kepada Tuhan yang memberikan pikiran dan perasaan. Kalau kita memiliki cara pandang kekekalan, pasti kita mulai menghitung apa yang kita lakukan sejak kita hidup sekarang ini di bumi. Sebab kalau orang tidak memiliki cara pandang kekekalan, dia menjadi sembrono, ceroboh. Filosofi hidupnya yang nampak dari perilakunya adalah “Mari kita makan dan minum, sebab besok kita mati.” Pertanyaannya, apakah kita sudah mengalami perubahan? Sejujurnya, sering orang tidak berani menembus batas dan keluar dari cara pandang yang salah itu.
Memang, sulit sekali keluar dari cara berpikir ini, meskipun bagi seorang pendeta. Kita harus berjuang untuk keluar dari cara pandang yang salah ini; nekat, keras dengan diri sendiri. Sebab kalau kita tidak keras dengan diri sendiri, dunia akan keras kepada kita. Kita harus punya kecepatan tinggi supaya dunia tidak bisa meraih kita, setan tidak bisa meraih kita. Dengan cara apa? Kita harus banyak mendengar firman Tuhan dan berdoa; siapkan waktu tiap hari duduk diam di kaki Tuhan. Tentu tidak mengurangi tanggung jawab dalam kehidupan kita. Tanggung jawab di kantor, di pekerjaan, di rumah tangga. Untuk itu, kita harus sangat serius supaya kita tidak bisa ditangkap oleh dunia; oleh pengaruh dunia yang luar biasa kuat dan jahatnya.
Jangan kita dalam keadaan tenang, lalu tidak sungguh-sungguh mencari Tuhan. Ibarat berenang di sungai yang tenang, jangan kita berkata, “Mengalir saja.” Kita tidak akan mengalir, karena ada banyak buaya. Kita akan dimakan oleh dunia ini dengan cara berpikir anak-anak dunia yang tidak kita sadari. Kita harus berenang. Firman Tuhan berkata, “Keluarlah kamu dari antara mereka.” Dalam Kitab Wahyu, “Larilah kamu.” Kita yang mesti lari. Setiap kita punya persoalan, tetapi jangan hanyut di dalam persoalan. Kita harus lari. Perbanyak doa. Kita mau finishing well. Kita harus melihat Allah sebagai Bapa yang memiliki rencana; ada tujuan nilai yang harus kita tangkap sebagai manusia yang memiliki pikiran dan perasaan.
Pikiran, perasaan kita harus diisi oleh Firman, dituntun Roh Kudus supaya membuahkan kehendak-kehendak, niat-niat, maksud-maksud yang sesuai dengan kehendak Allah agar sinkron dengan rencana-Nya, dengan tujuan ilahi. Jangan seperti orang beragama yang berurusan dengan Tuhan hanya pada waktu mempunyai masalah. Atau kita mau transaksional dengan Tuhan. Kita tidak usah minta perlindungan Tuhan dan berkat Tuhan. Itu hak kita, asalkan kita memenuhi kewajiban kita.