[Montage Orchestra 4 Documentary]
Mengambil inspirasi dari epik perang besar yang datang di bawah dua agama dan dua Wangsa, Syailendra dan Sanjaya, Siwa (HIndu) dengan Budha.
Sampai kemudian terbentuk kebijaksaan berlafal "bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa". Kalimat yang merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuno, yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit di sekitar abad ke-14.
Kakawin ini mengajarkan toleransi antara umat Siwa (Hindu) dengan umat Buddha.
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
(Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.)
Sesudah Mataram dan Sriwijaya, sesudah Singhasari dan Kediri, Majapahit berhasil mendirikan kejayaannya di atas dua kaki yang menopang budi hukumnya melalui dua lembaga pemimpin agama. Yaitu, Dharmmadhyaksa ring Kasaiwan Dang Acaryya Iswara, untuk agama Siwa (Hindu), dan Dharmmadhyaksa ring Kasaugatan Dang Acaryya Sastraraja, untuk agama Budha.
Majapahit menjadi besar dan kuat karena hukumnya mampu menjamin keadilan. Dan, keadilannya dipercaya sebab hukumnya diambil menurut budi agama.