
Sign up to save your podcasts
Or
(Taiwan, ROC) --- Di tengah kondisi perubahan iklim yang kian serius, membuat banyak negara di dunia segera memberlakukan mekanisme tanggap darurat. Mengemban predikat sebagai negara adidaya, membuat Amerika Serikat dan Tiongkok kian memperoleh perhatian utama. Apalagi kedua negara tersebut adalah pihak penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia.
Dialog membahas perubahan iklim antara Amerika Serikat dengan Tiongkok juga telah terputus. Hal ini dikarenakan isu-isu sensitif yang menjerat keduanya, misal polemik di Selat Taiwan dan persaingan di sektor semikonduktor.
Namun, kesenjangan di atas seolah-seolah ingin dibantah kedua petinggi negara bersangkutan. Salah satunya adalah pejabat tingkat kementerian Amerika Serikat yang baru-baru ini berkunjung ke Tiongkok, menyampaikan bahwa hubungan mereka berdua baik-baik saja.
Titik Temu Antara AS dengan Tiongkok
Dalam kunjungannya ke Tiongkok pada pertengahan Juli lalu, perwakilan iklim Amerika Serikat, John Kerry mendesak Beijing untuk segera menggelar kerja sama dengan Washington di sektor pengurangan emisi gas metana dan pembakaran batu bara untuk pembangkit listrik.
Sebelum memulai kunjungannya ke Tiongkok, John Kerry pernah menekankan bahwa tujuan perjalanan kali ini adalah untuk memantapkan hubungan kedua belah pihak, serta mencoba mencari ruang kerja sama di sektor perubahan iklim.
John Kerry mengatakan, “Apa yang kami coba ingin capai saat ini adalah membangun stabilitas dengan sebaik-baiknya. Jika memungkinkan, maka kami akan menciptakan hubungan tanpa adanya kompromi sama sekali dan tidak perlu ada yang namanya konsensus. Saya tidak akan meneliti konsensus apa yang harus dibuat dan ditetapkan. Apa yang coba kami lakukan saat ini adalah mencari tahu bagaimana kita semua dapat bekerja sama untuk menuntaskan persoalan genting yang ada. Mengingat Tiongkok adalah negara dengan daya ekonomi terbesar kedua di dunia. Mereka juga adalah negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia.”
Selain dialog iklim antara AS dengan Tiongkok, maka Konferensi COP28 (Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim) yang akan dihelat di Dubai pada bulan November tahun ini juga memiliki peran kunci dalam menentukan aksi dunia dalam mengurangi fenomena perubahan iklim.
Pertemuan Tingkat Tinggi di Dubai tersebut nantinya akan menjadi “Global Stocktake” pertama, yakni untuk mengevaluasi dan mengklarifikasi kemajuan pemerintah di banyak negara dalam memenuhi janji mereka dalam mengurangi gas emisi dunia, seperti yang pernah disepakati dalam perjanjian iklim Paris tahun 2015 silam.
Nantinya juga akan dilihat apakah target untuk menurunkan suhu bumi sebanyak 1,5C benar-benar bisa tercapai.
Ketua COP28 Menyerukan Tindakan yang Lebih Aktif
Namun demikian, Ketua KTT COP 28 tahun ini, Sultan Ahmed Al Jaber sempat merilis pernyataan pada pertengahan bulan Juli yang menyampaikan bahwa banyak negara di dunia yang tidak terlalu aktif dalam mewujudkan semangat yang ada.
Sultan Ahmed Al Jaber mengatakan, “Kita semua harus menghadapi fakta yang ada di lapangan saat ini. Saya pribadi menghormati seluruh kemajuan dan upaya yang sudah dibuat. Namun, langkah-langkah tambahan yang diambil sejauh ini masih dirasa belum cukup untuk mengatasi persoalan yang sudah semakin mendesak. Oleh karena itu, saya meminta kepada semua pihak untuk bersikap lebih aktif.”
Menghadapi dampak pemanasan global yang kian memburuk, membuktikan bahwa peran dan kontribusi dari semua negara memiliki peran penting untuk menekan isu perubahan iklim yang semakin hari semakin genting.
(Taiwan, ROC) --- Di tengah kondisi perubahan iklim yang kian serius, membuat banyak negara di dunia segera memberlakukan mekanisme tanggap darurat. Mengemban predikat sebagai negara adidaya, membuat Amerika Serikat dan Tiongkok kian memperoleh perhatian utama. Apalagi kedua negara tersebut adalah pihak penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia.
Dialog membahas perubahan iklim antara Amerika Serikat dengan Tiongkok juga telah terputus. Hal ini dikarenakan isu-isu sensitif yang menjerat keduanya, misal polemik di Selat Taiwan dan persaingan di sektor semikonduktor.
Namun, kesenjangan di atas seolah-seolah ingin dibantah kedua petinggi negara bersangkutan. Salah satunya adalah pejabat tingkat kementerian Amerika Serikat yang baru-baru ini berkunjung ke Tiongkok, menyampaikan bahwa hubungan mereka berdua baik-baik saja.
Titik Temu Antara AS dengan Tiongkok
Dalam kunjungannya ke Tiongkok pada pertengahan Juli lalu, perwakilan iklim Amerika Serikat, John Kerry mendesak Beijing untuk segera menggelar kerja sama dengan Washington di sektor pengurangan emisi gas metana dan pembakaran batu bara untuk pembangkit listrik.
Sebelum memulai kunjungannya ke Tiongkok, John Kerry pernah menekankan bahwa tujuan perjalanan kali ini adalah untuk memantapkan hubungan kedua belah pihak, serta mencoba mencari ruang kerja sama di sektor perubahan iklim.
John Kerry mengatakan, “Apa yang kami coba ingin capai saat ini adalah membangun stabilitas dengan sebaik-baiknya. Jika memungkinkan, maka kami akan menciptakan hubungan tanpa adanya kompromi sama sekali dan tidak perlu ada yang namanya konsensus. Saya tidak akan meneliti konsensus apa yang harus dibuat dan ditetapkan. Apa yang coba kami lakukan saat ini adalah mencari tahu bagaimana kita semua dapat bekerja sama untuk menuntaskan persoalan genting yang ada. Mengingat Tiongkok adalah negara dengan daya ekonomi terbesar kedua di dunia. Mereka juga adalah negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia.”
Selain dialog iklim antara AS dengan Tiongkok, maka Konferensi COP28 (Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim) yang akan dihelat di Dubai pada bulan November tahun ini juga memiliki peran kunci dalam menentukan aksi dunia dalam mengurangi fenomena perubahan iklim.
Pertemuan Tingkat Tinggi di Dubai tersebut nantinya akan menjadi “Global Stocktake” pertama, yakni untuk mengevaluasi dan mengklarifikasi kemajuan pemerintah di banyak negara dalam memenuhi janji mereka dalam mengurangi gas emisi dunia, seperti yang pernah disepakati dalam perjanjian iklim Paris tahun 2015 silam.
Nantinya juga akan dilihat apakah target untuk menurunkan suhu bumi sebanyak 1,5C benar-benar bisa tercapai.
Ketua COP28 Menyerukan Tindakan yang Lebih Aktif
Namun demikian, Ketua KTT COP 28 tahun ini, Sultan Ahmed Al Jaber sempat merilis pernyataan pada pertengahan bulan Juli yang menyampaikan bahwa banyak negara di dunia yang tidak terlalu aktif dalam mewujudkan semangat yang ada.
Sultan Ahmed Al Jaber mengatakan, “Kita semua harus menghadapi fakta yang ada di lapangan saat ini. Saya pribadi menghormati seluruh kemajuan dan upaya yang sudah dibuat. Namun, langkah-langkah tambahan yang diambil sejauh ini masih dirasa belum cukup untuk mengatasi persoalan yang sudah semakin mendesak. Oleh karena itu, saya meminta kepada semua pihak untuk bersikap lebih aktif.”
Menghadapi dampak pemanasan global yang kian memburuk, membuktikan bahwa peran dan kontribusi dari semua negara memiliki peran penting untuk menekan isu perubahan iklim yang semakin hari semakin genting.