Pearls from Al-Kahfi

Podcast kali ini membahas tentang bagaimana interkasi kita dengan Al-Qur’an khususnya dalam kehidupan sehari-hari. Kita akan membahas kapankah waktu yang spesial antara kita dan Al-Qur’an. Selain itu, ada kisah menarik Ustadz Nouman dan teman-temannya ketika bermain basket dan ayat Al-Qur’an. Apa hubungannya? Dengarkan podcast Pearls from Al-Kahfi episode ini. Semoga bermanfaat.

Al-Qur’an hanya akan memberikan keindahan persahabatan itu saat kita datang kepadanya sebagai apa? Sebagai seorang pencari hidayah. As a seeker. Dengan begitu, Allah akan memberikan kenyamanan. Dengan begitu, Al-Qur’an akan menjadi sahabat sejati kita.

Al-Qur’an itu bak seorang konselor. Seorang penasihat. Kita mendatanginya sebagai seorang yang butuh dinasihati. Yang siap menerima nasihatnya. Dan Al-Qur’an akan menjalankan fungsinya: menasihati kita. Menguatkan hati kita. Untuk menghadapi berbagai ujian kehidupan.

Dunia ini memang penuh dengan ujian, karena dunia memang tempatnya ujian dan permainan saja. Maka sejatinya sebagai seorang muslim kita harus percaya bahwa segala apapun di dunia pasti akan kita lalui dengan yang namanya ujian. Bahkan mau masuk kampus ternama saja pun kita harus melalui yang namanya ujian, apalagi kehidupan. Tapi selalu ingatlah bahwa di setiap ujian pasti akan ada kemudahan, karena Allah tidak akan membebani hambaNya melainkan karena mereka pun sanggup.

Di episode dari topik Pearls from Al-Kahfi ini kita akan membahas tentang dua langkah awal untuk mendapatkan guidance dari Al-Qur’an, yaitu mengubah cara kita berpikir, dan mengubah prioritas kita. Hal menarik yang kita bahas pada episode kali ini yaitu “guidance brings different kinds of goodness” dan “modifying what is the most important to you”. Apakah yang dimaksud oleh kedua statement ini? Simak lebih lanjut di episode kali ini :)

Kita bisa saja memandang sebuah kejadian dengan pendapat tertentu, namun setelah mempelajari Al-Qur'an, kita bisa memiliki pendapat yg sangat berbeda atas kejadian yang sama. Bisa saja kita menganggap sesuatu itu sangat bernilai dari sudut pandang yang satu, namun berubah menjadi sangat tidak berguna dari sudut pandang yang lain. Jadi, Al-Qur’an benar-benar mengubah persepsi kita dan mengubah cara berpikir kita tentang segala hal yang terjadi di sekitar kita.

Jika kita mendekati Al-Qur’an untuk mencari petunjuk, maka, kita harus siap untuk mengubah pikiran-pikiran kita. Ketika kita menghadapi Al-Qur’an, usahakan kita siap untuk mengubah pikiran kita agar sesuai dengan Al-Qur’an.

Pada materi Pearls From Al-Kahfi ini membahas tentang syarat psikologis kedua yaitu datangi Al-Qur’an sebagai seorang pencari bukan seorang pengkritik. Ketika berhadapan dengan Al-Qur’an jika kita mengharapkan petunjuk darinya, tidak bisa kita mengambil sikap sebagai seorang pengkritik atau siap mengkritik. Karena jika kita bersikap seperti itu, maka efeknya kita akan berpikir bahwa cara berpikir kita lebih superior dari penjelasan di Al-Qur’an. Sehingga kita dapat merasa kadang ayat-ayat Al-Qur’an tidak memenuhi standar kita jika kita bersikap mengkritik. Maka, kita tidak akan siap menerima petunjuk jika kita masih bersikap seperti itu.

Allah memberikan manusia fitrah yang sudah tertulis di al quran, maka dengan kita mengetahui apakah fitrah tersebut masih ada pada diri kita pun bisa kita dapatkan disaat kita mendekat dengan al quran. Dalam menjadi manusia yang dicintai oleh Allah pun sudah menjadi bagian fitrah sejak awal, namun fitrah tersebut bisa luntur dengan kita yang tidak memiliki prasyarat psikologis yang hanya Allah ketahui. Namun sebenarnya terdapat beberapa sign yang bisa manusia ketahui apabila fitrah yang Allah berikan tersebut memang sudah hilang, semua akan kami bahas di episode kali ini.

Untuk dapat melakukan pendekatan kepada Al-Qur’an, kita perlu memenuhi prasyarat-prasyarat tertentu agar bisa menerima petunjuk dari Al-Qur’an. Prasyarat pertama untuk menerima petunjuk dari Al-Qur’an adalah pedoman moral yang utuh. Setiap manusia sejatinya telah Allah berikan kalkulator moral di dalam dirinya, sehingga setiap manusia pada dasarnya bermoral.

Lantas apa maksud dari pedoman moral yang utuh? Dan apakah mungkin orang yang beriman memiliki pedoman moral yang tidak utuh?