Kita harus ingat bahwa kita adalah makhluk kekal yang pasti akan mati, dan setelah itu kita masuk keabadian. Kenyataan yang kita temui, banyak orangtua membentengi dan melindungi anak-anak mereka dengan warisan. Dengan warisan itu mereka berpikir bahwa anak-anak mereka akan aman. Sebagai orangtua, kita punya perasaan seperti itu. Padahal, dunia kita ke depan ini tidak akan menentu. Sama sekali tidak akan bisa diharapkan. Berapa pun warisan yang bisa kita berikan kepada anak, apakah itu harta, uang, pendidikan, tidak akan menjamin! Beberapa waktu yang lalu kita mendengar, ada anak konglomerat di luar negeri meninggal. Ada yang dibunuh, ada yang bunuh diri, ada yang kecelakaan, dan lain sebagainya. Ternyata, kekayaan pun tidak bisa melindungi anaknya. Warisan yang harusnya kita berikan adalah takut akan Allah, pengenalan akan Tuhan. Dan kalau mereka belum mengenal Tuhan seperti kita, kita yang harus lebih dulu mengenal Dia. Ketika kita meninggal dunia, tidak ada satu genggam tanah pun yang kita bawa. Sebidang tanah yang kita miliki, seluas apa pun, sebongkah pun tidak akan kita bawa. Sesuai dengan apa yang dikatakan Tuhan Yesus, “Kumpulkan harta di surga, bukan di bumi.” Kalau saat ini kita punya banyak mobil, punya banyak uang, punya banyak perhiasan, punya banyak arloji, punya banyak kekayaan, tidak satu pun kita bawa. Kita harus ingat itu! Dan mestinya ini menimbulkan perasaan krisis, perasaan gentar di hati kita.
Semua kita ibarat bangsa Israel yang keluar dari Mesir menuju Kanaan, kita tinggalkan dunia menuju Kanaan Surgawi. Tidak mengurangi kesenangan hidup, tetapi demi supaya kita memiliki hati yang takut akan Allah, sehingga kita bisa mewariskan hati yang takut akan Allah dan pengenalan akan Allah kepada anak-anak kita, kepada keluarga kita dan sesama. Ini yang mestinya menjadi kesukaan kita. Kita harus sampai pada titik perjumpaan yang nyata dengan Allah Bapa setiap hari. Karena Allah Bapa menyertai kita. Dia menaruh Roh-Nya di dalam diri kita. Kita tidak boleh semena-mena menyakiti perasaan Bapa. Sering kita tanpa sadar menyakiti, kita melukai, kita menganiaya perasaan Tuhan. Benar-benar kita menganiaya Tuhan, dengan sikap, ucapan, perbuatan, pikiran, renungan hati kita. Mari kita perbaharui komitmen kita untuk hidup berkenan di hadapan-Nya. Kesediaan kita untuk berkomitmen dan memenuhinya sudah merupakan pedupaan yang harum. Hati yang tulus, bukan emosi sesaat yang kita mainkan. Bukan emosi sesaat yang kita ledakkan. Lalu seakan-akan dengan emosi semacam itu, Tuhan berkenan. Sekarang tanpa ledakan emosi, tetapi perasaan yang tulus mencintai Dia, dan benar-benar bersedia untuk memberikan seluruh hidup kita.
Uang itu masalah yang masih sederhana dan kecil. Harta itu juga masih masalah yang sederhana dan kecil. Tetapi kesediaan kita mengontrol kata-kata yang tidak patut, sikap perilaku kita yang bisa melukai orang dan menjadi batu sandungan, semua itu merupakan masalah yang tidak mudah, bukan masalah kecil. Walaupun tentu kita sudah berbuat sebaik apa pun kita bisa tetap dipersalahkan, tetapi tidak masalah. Yang penting kita tidak bersalah di hadapan Tuhan. Misalnya, sebagai orangtua kita mengambil keputusan yang terbaik untuk anak-anak, namun anak-anak tidak mau mengerti dan menerimanya. Tentu sebagai orangtua kita tidak bermaksud melukai anak-anak. tetapi mendidik, maka dalam kehidupan bersama di tengah masyarakat kita harus melakukan hal-hal ini:
Pertama, berusaha untuk tidak merugikan siapa pun, tidak menyakiti siapa pun—melalui ucapan, sikap, dan perbuatan—demi perasaan Bapa. Dasarnya bukan karena kita takut kepada seseorang atau alasan lainnya, melainkan karena kita tidak mau melukai perasaan Dia.
Kedua, melakukan pembiasaan diri agar kita menjadi orang-orang yang berkenan kepada Tuhan. Demi supaya kita bisa benar-benar menyenangkan hati Tuhan dengan sikap permanen yang kita miliki, bukan sesaat kita buat-buat lalu seakan-akan kita menjadi orang baik.