Buku ini berjudul “Penundaan yang Membinasakan.” Kata “binasa” sebenarnya belum mewakili keadaan yang sesungguhnya, keadaan yang sebenarnya, atau keadaan riil dari fakta kebinasaan itu. Kata “binasa” menunjukkan keadaan yang sangat mengerikan atau keadaan paling mengerikan yang dapat dialami oleh manusia. Keadaan itu sebenarnya tidak bisa digambarkan dengan cara apa pun atau dengan kalimat bagaimanapun. Ini adalah kengerian yang yang tidak terbayangkan. Banyak orang sering memahami kata “binasa” itu sekadar lenyap atau hilang. Ini pengertian yang tidak tepat. Pengertian ini sangat sempit dan dangkal sehingga tidak mewakili keadaan yang sebenarnya dari kebinasaan itu sendiri.
Kata “binasa” sebenarnya berarti “tidak memiliki nilai sama sekali.” Ini adalah keadaan seseorang yang tidak berarti atau tidak memiliki nilai sama sekali. Bagaimana seorang manusia dapat dikatakan tidak bernilai? Yaitu kalau seseorang terpisah dari Allah dan tidak mendapat kesempatan lagi untuk diperdamaikan dengan Allah. Kebinasaan atau binasa adalah keadaan dimana seseorang tidak mendapat kesempatan lagi untuk diperdamaikan dengan Allah, ini berarti terpisah dari hadirat Allah, atau terhilang dari hadirat Allah selamanya. Ini adalah kedahsyatan yang luar biasa, keadaan yang tidak terbayangkan, kedahsyatan yang tidak bisa dikira-kira dengan pikiran manusia hari ini. Betapa dahsyat dan mengerikan keadaan itu. Tetapi fakta ironis yang kita lihat dan kita temukan hari ini, banyak orang tidak takut terhadap realitas tersebut.
Sungguh sangat ironis, mereka yang tidak gentar terhadap realitas ini bukan hanya orang ateis yang tidak percaya adanya Allah—yaitu mereka yang tidak percaya adanya Tuhan, bukan saja mereka yang tidak percaya kitab suci yang diwahyukan oleh Allah—melainkan juga orang-orang Kristen atau orang-orang beragama, mereka tidak benar-benar memiliki kegentaran terhadap realitas tersebut. Mereka tidak memiliki ketakutan terhadap realitas terpisah dari hadirat Allah selama-lamanya itu. Lebih miris lagi, ternyata di lingkungan gereja banyak aktivis—bahkan pendeta—yang tidak memiliki kegentaran yang proporsional terhadap realitas keadaan terpisah dari hadirat Allah selamanya.
Bagaimana kita dapat mengetahui kalau seseorang tidak memiliki kegentaran yang proporsional terhadap realitas kebiasaan ini? Hal ini nyata pada fakta kehidupan ketika seseorang tidak segan-segan berbuat dosa atau melakukan pelanggaran hukum, bertindak secara sembarangan dengan melukai dan merugikan sesama, tidak memiliki beban terhadap penderitaan orang lain, terikat dengan keindahan dunia atau hidup dalam percintaan dunia. Biasanya, orang seperti ini tidak memiliki pengharapan yang kuat terhadap kehidupan yang akan datang di langit baru bumi baru. suasana jiwa mereka sangat dipengaruhi oleh dunia ini, dan tidak merindukan pulang ke surga. Tentu saja mereka adalah orang-orang yang takut terhadap kematian. Bagi mereka, kematian adalah hantu yang menakutkan atau “momok” yang menggetarkan jiwa. Mereka lebih takut menjadi miskin daripada takut masuk neraka. Mereka lebih takut kepada dunia ini dengan segala ancamannya daripada takut akan Allah.
Kata “binasa” sebenarnya kebalikan dari kata “hidup kekal.” Dalam hal ini, berbicara mengenai hidup yang kekal hendaknya asumsi kita tidak hanya tertuju kepada kesadaran kekal di surga. Kesadaran kekal dimiliki oleh setiap insan, baik mereka yang ada di neraka maupun yang ada di surga. Hendaknya kita tidak mengisi pengertian kata “kekal” hanya dikaitkan dengan kehidupan di surga nanti. Kekekalan juga dialami orang yang terpisah dari hadirat Allah. Artinya, keterpisahan dengan Allah bersifat kekal juga. Hidup kekal menunjuk kepada kehidupan yang bernilai atau berarti. Jadi ketika seseorang bertanya kepada Yesus: “Apa yang harus aku lakukan supaya aku beroleh hidup yang kekal?” (Mat. 19:16-21). Maksud pertanyaan itu adalah apa yang harus dilakukan supaya hidupnya bernilai atau berkualitas tinggi.