Banyak orang yang masih terikat dalam penghargaan diri yang tidak proporsional. Setiap kita memang harus menghargai diri kita sendiri, tetapi harus benar. Orang yang tidak menghargai dirinya sendiri dengan benar berarti ia tidak bisa menghargai orang lain dengan benar juga. Masalahnya adalah bagaimana seseorang bisa menghargai dirinya sendiri secara proporsional atau secara benar. Yang pertama, harus menyadari bahwa dirinya adalah makhluk kekal yang diciptakan Allah dan berharga di mata Allah. Jadi, harus disadari bahwa setiap kita ini adalah orang-orang yang berharga di mata Allah. Kita adalah makhluk kekal yang diciptakan menurut gambar Allah dan diharapkan bisa serupa dengan Allah. Kita bisa atau berpotensi memiliki kemampuan bertindak yang selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. Dan atas setiap individu, Allah memuat rancangan Allah yang luar biasa. Dengan kesadaran ini, maka kita dapat menghargai diri kita secara benar atau secara proporsional. Dan berangkat dari kesadaran diri yang benar, maka kita akan bisa menghargai orang lain secara benar. Jadi, penghargaan kita kepada orang lain didasarkan pada kenyataan bahwa makhluk manusia bereksistensi kekal. Dan ini merupakan hal yang sangat dahsyat.
Yang kedua, makhluk manusia diciptakan segambar dengan Allah dan diberi kemampuan untuk bisa serupa dengan Allah. Serupa dengan Allah artinya sesuai dengan rancangan semula, dimana manusia dapat selalu bertindak sesuai dengan kehendak Allah. Yang ketiga, sejatinya setiap manusia memuat atau memikul rancangan Allah yang harus digenapi.
Kalau kita menghargai diri kita secara benar, maka: Pertama, kita menghargai diri kita sebagai makhluk kekal, sehingga kita pasti berjuang untuk tidak masuk ke dalam kebinasaan atau ke dalam api kekal atau yang sama dengan terpisah dari Allah. Kedua, kita akan berusaha untuk dapat serupa dengan Yesus. Ketiga, kita berusaha untuk mengerti rencana Allah dalam hidup kita masing-masing, guna kita penuhi. Inilah cara penghargaan diri yang benar.
Penghargaan diri seperti ini juga kita berikan untuk orang lain, yaitu bagaimana kita mengupayakan mereka agar tidak binasa, dapat dikembalikan ke rancangan Allah semula—yaitu menjadi serupa dengan Yesus atau sempurna seperti Bapa—dan mereka dapat menyadari rancangan apa yang Bapa berikan kepada masing-masing individu untuk dipenuhi. Berangkat dari hal ini, maka kita baru bisa memiliki kerendahan hati yang tepat. Kalau tidak, maka sikap dan perilaku kita akan bertendensi untuk mencari penghargaan diri yang tidak benar atau tidak proporsional.
Dan itu ternyata telah menjadi irama hidup manusia pada umumnya, yaitu bagaimana dirinya dianggap penting, dinilai lebih dari orang lain, dihargai sebagai patut mendapatkan kehormatan, pujian, sanjungan sampai pada tingkat gila hormat. Dan orang-orang seperti ini pasti tidak memahami siapa dan bagaimana manusia itu serta tanggung jawabnya. Oleh sebab itu, seharusnya sejak dini atau sejak muda kita harus sudah memiliki kesadaran ini, yaitu bahwa kiat berharga di mata Allah. Sedini mungkin! Dan jika kita menjalani hidup dengan kesadaran ini, maka proses keselamatan dapat berlangsung dengan benar di dalam hidup kita sehingga kita juga bisa memperlakukan orang lain secara benar. Dan bisa melayani sesama kita dengan benar pula. Kalau tidak, maka segala sesuatu yang kita lakukan akan berpusat pada diri sendiri; egosentris, manusia sentris, bukan Teosentris atau Allah-sentris.
Kita melihat kenyataan dalam lingkungan gereja—tanpa perlu melihat yang ada di luar gereja—bahwa tidak sedikit orang menjadi pendeta karena penghargaan diri. Tidak sedikit orang bersekolah di Sekolah Tinggi Teologi untuk menjadi hamba Tuhan atau pelayan Tuhan hanya karena penghargaan tersebut. Dan manusia cakap untuk mendapatkan penghargaan atau nilai diri dari sesamanya dalam berbagai perilakunya. Misalnya dalam hal berpakaian, mengapa seseorang memakai pakaian ini, model ini, warna itu. Bukan karena kepantasan,