Hidup kita ini seperti telur di ujung tanduk, artinya kita tidak tahu apa yang akan terjadi di depan. Tetapi, jiwa kita bisa teduh dan tenang karena kita memiliki Allah yang hidup. Di sini, diuji seberapa murni iman yang kita miliki. Tidaklah sulit kalau kita berbicara mengenai Allah, berkhotbah mengenai Dia, memberikan seminar mengenai Allah, menulis buku, membuat jurnal ilmiah mengenai Allah. Tetapi mengalami Allah, sesuatu yang berbeda. Mengalami Allah tidak cukup hanya dengan mengenal Dia melalui buku atau tulisan. Allah ingin dialami oleh orang percaya, tetapi orang percaya tidak boleh percaya setelah melihat atau mengalami bukti-bukti secara fisik. Orang percaya harus percaya walau tidak melihat, seperti yang dikemukakan oleh Tuhan Yesus dalam Yohanes 20:29, “Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya, Tomas. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” Ini yang Tuhan inginkan. Ini mekanisme percaya. Memang ada orang yang melihat secara supranatural atau mengalami secara supranatural keberadaan Allah, baru percaya. Tetapi kita sebagai anak-anak Allah yang dewasa, jangan ikut-ikutan.
Kita harus belajar percaya. Kapan? Ketika kita dalam keadaan terjepit. Alkitab juga menunjukkan ada orang-orang yang belajar percaya melalui keadaan-keadaan yang terjepit. Abraham bisa dikatakan sebagai bapa orang percaya setelah ia melewati tahapan-tahapan hidup. Keluar dari Ur-Kasdim, yang katanya Allah akan menunjukkan negeri yang ia akan warisi, tetapi tidak pernah Abraham melihat negeri itu secara fisik sampai dia mati. Allah menjanjikan anaknya akan banyak seperti pasir di lautan dan seperti bintang di langit. Tapi ternyata, Abraham tidak kunjung memiliki anak. Bahkan, di perjalanan dia menjumpai kenyataan-kenyataan yang pahit. Ketika ia mengalami kekeringan yang hebat, ia pergi ke Mesir. Di Mesir, istrinya nyaris diambil oleh Firaun. Abraham harus menunggu 24-25 tahun, baru memiliki anak. Ketika sudah punya anak, Allah memberi perintah untuk mempersembahkannya sebagai kurban bakaran. Abraham lakukan semua itu. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, namun ia meyakini bukan saja Allah itu hidup dan ada, tetapi juga semua yang diperintahkan oleh-Nya itu baik adanya.
Tuhan mengizinkan kita dalam keadaan terjepit. Ketika kita tidak melihat jalan keluar dari berbagai sumber, Tuhan bisa membawa kita dalam keadaan seperti ini. Kita dikondisikan oleh Tuhan di dalam keadaan yang begitu pahit, di dalam keadaan yang begitu krisis dan kritis. Pada saat-saat seperti itu, kita diajar untuk menaruh percaya kita kepada Tuhan. Percaya kepada Allah yang hidup bukan suatu hal yang mudah. Bangsa Israel telah melihat 10 tulah yang ditimpakan Yahweh ke atas bangsa Mesir. Tetapi ketika mereka ada di seberang laut Kolsom menghadapi keadaan yang begitu mencekam dimana Firaun dengan tentaranya datang untuk membunuh mereka, mereka ketakutan. Mereka mempersalahkan Musa. Tetapi dalam keadaan yang terjepit, Allah menyatakan kuasa-Nya. Keadaan-keadaan yang sulit yang kita alami merupakan kondisi dimana Allah mengajar kita menaruh percaya kepada-Nya, bahwa Dia bukan saja Allah yang hidup, melainkan juga Allah yang baik, penuh kasih, bertanggung jawab memelihara dan menjaga anak-anak-Nya.
Percaya bukan berarti lalu kita tidak bertanggung jawab. Jangan berkata, “percaya Tuhan akan cukupi,” tapi kita malas. Tidak bisa. Tanggung jawab tidak boleh diabaikan. Kita harus memenuhi bagian kita. Misalnya, kalau kita bekerja di satu perusahaan, mungkin ada kata-kata kasar yang menyakitkan, jangan tersinggung. Tetap teduh, kerja keras. Mengalah, jangan banyak bicara, tunduk kepada pimpinan. Jangan sirik, cemburuan, dan jahat terhadap orang. Roh Kudus pasti akan menolong kita untuk memiliki karakter yang baik. Kita punya bagian yang harus kita penuhi, yaitu kita bekerja keras. Orang-orang muda harus memaksimalkan potensi. Jangan berkata, “percaya, Allah akan mencukupi kebutuhan kita. Hari esok Tuhan genggam,