Semakin banyak referensi tentang manusia semakin kengerian itu tercipta, dan dengan bodohnya saya terbawa sampai hampir menjelajahi 3/4 bagian tentang manusia, awalnya hanya demi menghindari diberdaya kelicikan sesama. Kemudian berakhir jadi ketakutan yg tidak lagi terikira. Termakan asupan asupan seperti perempuan dititik nol, gagal menjadi manusia, layangan putus, parasit dan referensi sejenisnya mencipta kewaspadaan yg menambah opsi baru menguras tenaga dengan instan.
Semakin tua saya semakin melihat bahwa Menjadi naif ternyata tidak seburuk itu, mempercayai siapapun juga tidak seburuk itu. Semakin cerdas membaca kelicikan orang lain dalam memberdayakan diri, justru kadang membuat kita pelan selicik yg lain.
Bukankah mestinya kita hanya perlu memikirkan perlakuan kita pada org lain, kenapa jistru kini sebaliknya.
Kecerdasan yg dituhankan ini lalu menggiring pada kebodohan dalam bentuk lain. Saya kira hanya baik buruk yg menjadi relatif, sepertinya cerdas dan bodohpun telah menjadi sangat relatif berdasar perspektif.
Kenapa mempercayai manusia menjadi sesulit ini untuk dijiwai ?
Kenapa manusia selalu diidentikkan dengan hal buruk begitu? Padahal didalam manusia ada banyak hal cantik yg bisa jadi story. Dan anehnya yg menjatuhi manusia dengan judgemen buruk adlaah manusia itu sendiri, Dan itu sama saja seperti dia menjelekkan diri sendiri. Saya kemudian teringat perkataan orang bijak, orang lain boleh berkata kamu buruk, selama kamu tidak percaya itu selama kamu tidak mengakui itu. Karena ketika kamu meng iyakan maka saat itu kamu akan benar2 menjadi seburuk itu.
Wajar jika manusia melakukan kesalahan, semua kesalahan pasti ada obatnya. Dan semua manusia pasti pernah melakukan kesalahan. Belive me ur not alone. :)
Ada Paradoks aneh tentang percaya, bahwa Dunia telah hancur, kita tidak bisa mempercayai siapapun..
Tapi, ternyata dunia justru menjadi hancur karena kita tidak pernah bisa mempercayai siapapun.
Padahal tau sendiri sepedih apa ketika tidak dipercayai orang lain.
Dan dengn tidak mempercayai org lain, pelan nanti bahkan kita tidak lagi mempercayai diri sendiri. Kebaikan disangka munafik, kelembutan disangka berkedok lain.
Begitulah kemudian saya menyesal telah menerima informasi buruk tentmag manusia, padahal Mungkin dengan tidak mengetahui apapun bisa membuat saya lebih bahagia. Saya rindu saat dimana saya tidak mengetahui apa itu manusia. Saat ketakutan saya hanya pada hantu yg bercucuran darahnya.. saya rindu pada kesederhanaan kejadian yg membuat terbahak2.. ternyata semakin saya mencicipi, semakin bahagia itu menjadi kemewahan yg sulit saya peluk lagi.
Dan persimpangan apapun yg menjadi pilihan saya, tetap saja bukan hidup namanya jika tidak ada penyesalan didalamnya. Jika pilihan apapun itu pasti ada sesal dan lelah, maka saya harap kita bisa memilih sesuatu yg bisa membuat kita lebij tertuju pada tujuan hidup masing2. Tidaknya dengan harapan sesal dan lelah bisa terjalani dengan bangga didalamnya.