Orang yang memperlakukan Allah sebagai pribadi yang hidup akan berusaha memperhatikan perasaan Allah dalam segala tindakan yang dilakukan. Orang percaya seperti itu, berusaha hidup benar bukan karena mata Allah yang mengawasinya, melainkan karena selalu menghayati kehadiran Allah dalam hidupnya sehingga Allah menjadi begitu nyata. Demikian pula orang yang memperlakukan Allah sebagai Pribadi yang hidup, tidak sembarangan menjalani hidup ini. Dalam mempertimbangkan sesuatu, selalu pada penghayatan bahwa ada Allah yang hidup, yang perasaan-Nya harus menjadi satu-satunya pertimbangan. Sangat sedikit orang yang menyadari betapa hebat menjadi makhluk yang disebut manusia, sebab hanya manusia, mahluk hidup yang memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan sesuatu dalam keputusan dan tindakan-tindakannya. Itulah sebabnya, keberadaan manusia seperti Penciptanya sendiri, yang memiliki pikiran, perasaan, dan kehendak.
Dengan keberadaan yang luar biasa, manusia diberi tanggung jawab untuk memikul semua perbuatan dari hasil pertimbangannya. Dengan keberadaan yang luar biasa ini juga, manusia harus bertanggung jawab atas setiap keputusan dan pilihannya (2Kor. 5:9-10). Dengan demikian, sangat jelaslah betapa besar peran pertimbangan seseorang dalam menentukan keadaannya dirinya sendiri. Masa depan seseorang dan seluruh keberadaan dalam hidupnya di kemudian hari, ditentukan oleh ketepatan atau kecerdasan pertimbangannya. Banyak keadaan yang buruk dan kegagalan-kegagalan yang disebabkan oleh karena pertimbangan yang tidak tepat di masa lalu. Oleh sebab itu, betapa pentingnya seseorang belajar kebenaran Firman Tuhan yang dapat mencerdaskan pikirannya, sehingga dapat memperlakukan Allah sebagai Pribadi yang hidup. Dengan demikian, ia dapat terhindarkan dari keputusan yang salah.
Kalau akibat pertimbangan yang salah yang dilakukan seseorang hanya dituai dalam hidup selama di bumi ini, hal itu bukanlah masalah besar, sebab masa hidup seseorang tidaklah panjang. Tetapi kalau akibat pertimbangan yang salah harus ditanggung dalam kekekalan, hal ini menjadi masalah yang benar-benar mengerikan. Ketika seseorang harus menuai apa yang ditaburnya dalam kekekalan nanti, mereka tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri. Dengan demikian, tidak seorang pun yang luput dari buah pertimbangan yang menghasilkan perbuatan yang telah dilakukan. Itulah sebabnya, Paulus berusaha untuk berkenan agar ia tidak tertolak di hadapan Tuhan. Kalau seorang sekelas atau selevel Paulus masih harus berjuang untuk perkenanan Tuhan supaya tidak tertolak, apalagi kita yang masih sangat jauh belum sempurna dibandingkan dengan Rasul Paulus (1Kor. 9:27).
Kalau kematian membuat manusia kehilangan kesadaran, maka manusia tidak perlu menjaga hidupnya atau berhati-hati dalam pertimbangan dan perbuatannya. Dengan demikian, orang bisa berbuat sesuka-sukanya sendiri; makan dan minum, sebab besok mati. Tetapi ternyata, ada kehidupan di balik kematian. Semua orang akan dibangkitkan. Sebagian menerima kemuliaan kekal, dan sebagian menerima kehinaan kekal. Kalau manusia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya selama hidup di bumi, maka ini menjadi masalah yang sangat besar. Karena tidak belajar kebenaran, banyak orang menganggap sepele kedahsyatan kekekalan. Hidup mereka menjadi ceroboh tanpa pertimbangan yang cerdas dalam bertindak dan mengambil keputusan.
Sebagai anak Allah, kita tidak boleh memiliki cara berpikir dan pertimbangan yang sama dengan manusia di sekitar kita. Mereka mengambil keputusan dan mempertimbangkan sesuatu tanpa penghayatan akan adanya Allah yang hidup dan berperasaan. Oleh karena pertimbangan hidup kita menentukan nasib kekal kita, maka pertimbangan kita harus sesuai dengan kehendak Allah. Pertimbangan hidup manusia sangat dipengaruhi kemampuannya menghayati keberadaan Allah. Itulah sebabnya, kesempatan yang sisa ini harus digunakan untuk memenuhi pikiran dengan kebenaran, agar pertimbangan kita tidak berdasarkan cara berpikir manu...