
Sign up to save your podcasts
Or
(Taiwan, ROC) —- Di tengah terpaan tantangan ekonomi domestik yang semakin meningkat, Tiongkok baru-baru ini mengadopsi sikap yang lebih moderat dalam kebijakan luar negerinya. Namun, beberapa ahli berpendapat bahwa pelunakan sikap diplomasi Tiongkok mungkin sulit untuk bertahan lama.
Mulai dari pembebasan jurnalis Australia yang ditahan, mengundang Amerika Serikat untuk menghadiri forum pertahanan, hingga menyetujui rencana restrukturisasi utang Sri Lanka, tindakan diplomasi Tiongkok belakangan ini tampaknya menunjukkan sikap yang lebih lunak.
Hal tersebut seolah-olah mencerminkan bahwa di tengah-tengah masalah ekonomi domestik yang serius, Tiongkok mulai mengambil sikap rekonsiliasi dan mendukung terhadap pesaing serta mitra negara berkembang.
Di tengah situasi Timur Tengah yang semakin tegang, meskipun Amerika Serikat merespons perubahan sikap diplomasi Tiongkok tersebut dengan penuh rasa optimis, tetapi para ahli berpendapat bahwa kondisi ini mungkin tidak akan bertahan lama dan ketegangan antara AS dengan Tiongkok dapat meningkat kembali kapan saja.
Noah Barkin, seorang analis dari institusi penelitian independen Rhodium Group, menyatakan bahwa Tiongkok saat ini ingin menjamin dunia bahwa operasional bisnis mereka berjalan seperti biasa.
Barkin menyatakan, "Para pemimpin Tiongkok sangat ingin menjamin kepada investor asing bahwa hubungan mereka dengan Amerika Serikat serta sekutu-sekutu Asia dan Eropa tidak akan terperosok dalam eskalasi yang konstan."
Hubungan Australia-China Mencair dengan Pembatalan Tarif dan Pembebasan Jurnalis
Dari perspektif yang ada selama ini, hubungan antara Tiongkok dengan Australia telah mencapai titik terdingin dalam beberapa tahun terakhir, terutama karena sumber asal pandemi COVID-19 dan masalah perdagangan.
Namun, setelah pemerintah Partai Buruh (Labor Party) berkuasa, Australia berusaha memperbaiki hubungan mereka dengan Tiongkok, dan Tiongkok baru-baru ini memberikan respons yang ramah.
Semenjak tahun 2023 ini, Tiongkok telah mengembalikan impor batubara dan kayu dari Australia, serta membatalkan tarif pada barley Australia.
Jurnalis berkewarganegaraan Australia, Cheng Lei (成蕾), yang dituduh melanggar undang-undang keamanan nasional, telah dibebaskan oleh Tiongkok pada 11 Oktober 2023 kemarin, setelah sebelumnya sempat ditahan selama 3 tahun.
Ini menjadi babak baru bagi perbaikan hubungan antara Tiongkok dengan Australia, dan juga membuka jalan bagi Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, untuk mengunjungi Tiongkok sebelum akhir tahun.
Pejabat AS Berkunjung ke Tiongkok, Pertemuan Biden-Xi Kian Terbuka Lebar
Hubungan AS-Tiongkok, yang memburuk pada bulan Februari karena insiden balon mata-mata, juga menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah pejabat tinggi pemerintah AS diberitakan telah berkunjung ke Tiongkok.
Pemimpin mayoritas Senat AS, Chuck Schumer, mengunjungi Tiongkok pada awal Oktober dan memimpin delegasi anggota parlemen AS untuk bertemu dengan Pemimpin Tiongkok, Xi Jin-ping. Xi Jin-ping mengatakan kepada Schumer bahwa bagaimana kedua negara berinteraksi akan menentukan masa depan dan nasib umat manusia, menggambarkan hubungan AS-Tiongkok sebagai "hubungan bilateral terpenting di dunia".
Baru-baru ini, AS juga menerima undangan dari Tiongkok untuk menghadiri Forum Xiangshan yang diadakan di Beijing pada akhir Oktober. Selain itu, ada spekulasi bahwa Xi Jin-ping mungkin bertemu dengan Presiden AS, Joe Biden, pada pertemuan APEC bulan November mendatang.
Menghadapi Tantangan Domestik, Xi Jinping Menunjukkan Niat Baik kepada Barat
Pergeseran diplomasi Tiongkok belakangan ini jelas mencerminkan tekanan yang semakin meningkat yang dihadapi Xi Jin-ping di dalam negeri. Ini termasuk perlambatan ekonomi yang diperburuk oleh aliran modal yang terus keluar, serta krisis properti dan tingginya tingkat pengangguran di kalangan pemuda.
Dari segi politik, tiba-tiba menghilangnya Menteri Luar Negeri Tiongkok, Qin Gang (秦剛), dan Menteri Pertahanan, Li Shangfu (李尚福), membuat upaya Xi Jin-ping untuk menghadapi persaingan yang semakin intens dengan AS, khususnya dalam kebijakan luar negeri dan keamanan, menjadi lebih kompleks.
Peneliti senior dari Jamestown Foundation, Willy Lam (林和立), mengatakan: "Xi Jin-ping menunjukkan sikap ramah kepada kekuatan besar Barat untuk memperlambat kecepatan negara-negara di dunia menjauh dari Tiongkok, dan mencegah pemutusan hubungan Tiongkok dengan rantai pasokan global."
Setuju dengan Restrukturisasi Utang Sri Lanka, Tiongkok Menguatkan Hubungan dengan Negara Berkembang
Faktanya, Tiongkok tidak melunakkan sikapnya dalam semua isu, misalnya, konflik berkelanjutan antara Tiongkok dengan Filipina di wilayah Laut Tiongkok Selatan.
Namun, tampaknya Tiongkok juga berharap untuk memperkuat hubungan politik dan perdagangan dengan negara-negara berkembang. Ini tidak hanya didasarkan pada alasan ekonomi tetapi juga untuk mendorong pembentukan tatanan dunia multipolar yang mencakup Global Selatan.
Pada tanggal 18 Oktober 2023, Pemimpin Tiongkok, Xi Jin-ping, mengadakan forum Belt and Road di Beijing untuk merayakan sepuluh tahun peluncuran inisiatif infrastruktur besar ini. Sementara itu, Beijing setuju dengan rencana restrukturisasi utang sebesar US$ 4 miliar dari Sri Lanka dan juga menandatangani memorandum pemahaman restrukturisasi utang dengan Zambia.
Langkah-langkah ini mencerminkan keinginan Tiongkok untuk menghilangkan reputasi negatif "diplomasi jebakan utang" yang disebabkan oleh inisiatif Belt and Road yang membuat beberapa negara tidak mampu membayar utangnya.
Tindakan Diplomatik Tiongkok Menjadi Lebih Lunak, Ahli Meragukan Keberlangsungannya
Meski demikian, para ahli skeptis bahwa pendekatan diplomatik yang lebih ramah dari Tiongkok dapat bertahan lama. Mengingat perbedaan pendapat antara AS dengan Tiongkok dalam banyak isu yang belum terselesaikan, ketegangan antara kedua negara dapat kembali muncul kapan saja.
AS akan mengadakan pemilihan presiden tahun depan, tetapi pandangan AS yang menganggap Tiongkok sebagai saingan strategis utama tidak akan berubah hanya karena pemilihan presiden yang akan datang.
Pemimpin terkemuka Partai Republik saat ini adalah mantan Presiden Donald Trump, yang dikenal dengan pendekatannya yang keras terhadap Tiongkok selama masa jabatannya. Sementara itu, Presiden Biden, yang berupaya untuk pemilihan kembali, juga tidak siap untuk membuat banyak konsesi kepada Tiongkok.
Saat ini, ia tidak hanya mempertahankan tarif terhadap Tiongkok tetapi juga meningkatkan pembatasan ekspor semikonduktor ke China.
Di sisi lain, setiap latihan militer oleh Tiongkok sebelum pelaksanaan pemilu Taiwan pada Januari tahun depan juga dapat memicu ketegangan dengan Barat.
Seorang ahli hubungan AS-Tiongkok yang juga adalah peneliti senior di American Enterprise Institute (AEI), Zack Cooper, mengatakan, "Ketegangan fundamental dalam hubungan masih ada. Ini adalah peningkatan sementara dalam interaksi, yang mungkin segera diikuti oleh penurunan lain dalam hubungan."
(Taiwan, ROC) —- Di tengah terpaan tantangan ekonomi domestik yang semakin meningkat, Tiongkok baru-baru ini mengadopsi sikap yang lebih moderat dalam kebijakan luar negerinya. Namun, beberapa ahli berpendapat bahwa pelunakan sikap diplomasi Tiongkok mungkin sulit untuk bertahan lama.
Mulai dari pembebasan jurnalis Australia yang ditahan, mengundang Amerika Serikat untuk menghadiri forum pertahanan, hingga menyetujui rencana restrukturisasi utang Sri Lanka, tindakan diplomasi Tiongkok belakangan ini tampaknya menunjukkan sikap yang lebih lunak.
Hal tersebut seolah-olah mencerminkan bahwa di tengah-tengah masalah ekonomi domestik yang serius, Tiongkok mulai mengambil sikap rekonsiliasi dan mendukung terhadap pesaing serta mitra negara berkembang.
Di tengah situasi Timur Tengah yang semakin tegang, meskipun Amerika Serikat merespons perubahan sikap diplomasi Tiongkok tersebut dengan penuh rasa optimis, tetapi para ahli berpendapat bahwa kondisi ini mungkin tidak akan bertahan lama dan ketegangan antara AS dengan Tiongkok dapat meningkat kembali kapan saja.
Noah Barkin, seorang analis dari institusi penelitian independen Rhodium Group, menyatakan bahwa Tiongkok saat ini ingin menjamin dunia bahwa operasional bisnis mereka berjalan seperti biasa.
Barkin menyatakan, "Para pemimpin Tiongkok sangat ingin menjamin kepada investor asing bahwa hubungan mereka dengan Amerika Serikat serta sekutu-sekutu Asia dan Eropa tidak akan terperosok dalam eskalasi yang konstan."
Hubungan Australia-China Mencair dengan Pembatalan Tarif dan Pembebasan Jurnalis
Dari perspektif yang ada selama ini, hubungan antara Tiongkok dengan Australia telah mencapai titik terdingin dalam beberapa tahun terakhir, terutama karena sumber asal pandemi COVID-19 dan masalah perdagangan.
Namun, setelah pemerintah Partai Buruh (Labor Party) berkuasa, Australia berusaha memperbaiki hubungan mereka dengan Tiongkok, dan Tiongkok baru-baru ini memberikan respons yang ramah.
Semenjak tahun 2023 ini, Tiongkok telah mengembalikan impor batubara dan kayu dari Australia, serta membatalkan tarif pada barley Australia.
Jurnalis berkewarganegaraan Australia, Cheng Lei (成蕾), yang dituduh melanggar undang-undang keamanan nasional, telah dibebaskan oleh Tiongkok pada 11 Oktober 2023 kemarin, setelah sebelumnya sempat ditahan selama 3 tahun.
Ini menjadi babak baru bagi perbaikan hubungan antara Tiongkok dengan Australia, dan juga membuka jalan bagi Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, untuk mengunjungi Tiongkok sebelum akhir tahun.
Pejabat AS Berkunjung ke Tiongkok, Pertemuan Biden-Xi Kian Terbuka Lebar
Hubungan AS-Tiongkok, yang memburuk pada bulan Februari karena insiden balon mata-mata, juga menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah pejabat tinggi pemerintah AS diberitakan telah berkunjung ke Tiongkok.
Pemimpin mayoritas Senat AS, Chuck Schumer, mengunjungi Tiongkok pada awal Oktober dan memimpin delegasi anggota parlemen AS untuk bertemu dengan Pemimpin Tiongkok, Xi Jin-ping. Xi Jin-ping mengatakan kepada Schumer bahwa bagaimana kedua negara berinteraksi akan menentukan masa depan dan nasib umat manusia, menggambarkan hubungan AS-Tiongkok sebagai "hubungan bilateral terpenting di dunia".
Baru-baru ini, AS juga menerima undangan dari Tiongkok untuk menghadiri Forum Xiangshan yang diadakan di Beijing pada akhir Oktober. Selain itu, ada spekulasi bahwa Xi Jin-ping mungkin bertemu dengan Presiden AS, Joe Biden, pada pertemuan APEC bulan November mendatang.
Menghadapi Tantangan Domestik, Xi Jinping Menunjukkan Niat Baik kepada Barat
Pergeseran diplomasi Tiongkok belakangan ini jelas mencerminkan tekanan yang semakin meningkat yang dihadapi Xi Jin-ping di dalam negeri. Ini termasuk perlambatan ekonomi yang diperburuk oleh aliran modal yang terus keluar, serta krisis properti dan tingginya tingkat pengangguran di kalangan pemuda.
Dari segi politik, tiba-tiba menghilangnya Menteri Luar Negeri Tiongkok, Qin Gang (秦剛), dan Menteri Pertahanan, Li Shangfu (李尚福), membuat upaya Xi Jin-ping untuk menghadapi persaingan yang semakin intens dengan AS, khususnya dalam kebijakan luar negeri dan keamanan, menjadi lebih kompleks.
Peneliti senior dari Jamestown Foundation, Willy Lam (林和立), mengatakan: "Xi Jin-ping menunjukkan sikap ramah kepada kekuatan besar Barat untuk memperlambat kecepatan negara-negara di dunia menjauh dari Tiongkok, dan mencegah pemutusan hubungan Tiongkok dengan rantai pasokan global."
Setuju dengan Restrukturisasi Utang Sri Lanka, Tiongkok Menguatkan Hubungan dengan Negara Berkembang
Faktanya, Tiongkok tidak melunakkan sikapnya dalam semua isu, misalnya, konflik berkelanjutan antara Tiongkok dengan Filipina di wilayah Laut Tiongkok Selatan.
Namun, tampaknya Tiongkok juga berharap untuk memperkuat hubungan politik dan perdagangan dengan negara-negara berkembang. Ini tidak hanya didasarkan pada alasan ekonomi tetapi juga untuk mendorong pembentukan tatanan dunia multipolar yang mencakup Global Selatan.
Pada tanggal 18 Oktober 2023, Pemimpin Tiongkok, Xi Jin-ping, mengadakan forum Belt and Road di Beijing untuk merayakan sepuluh tahun peluncuran inisiatif infrastruktur besar ini. Sementara itu, Beijing setuju dengan rencana restrukturisasi utang sebesar US$ 4 miliar dari Sri Lanka dan juga menandatangani memorandum pemahaman restrukturisasi utang dengan Zambia.
Langkah-langkah ini mencerminkan keinginan Tiongkok untuk menghilangkan reputasi negatif "diplomasi jebakan utang" yang disebabkan oleh inisiatif Belt and Road yang membuat beberapa negara tidak mampu membayar utangnya.
Tindakan Diplomatik Tiongkok Menjadi Lebih Lunak, Ahli Meragukan Keberlangsungannya
Meski demikian, para ahli skeptis bahwa pendekatan diplomatik yang lebih ramah dari Tiongkok dapat bertahan lama. Mengingat perbedaan pendapat antara AS dengan Tiongkok dalam banyak isu yang belum terselesaikan, ketegangan antara kedua negara dapat kembali muncul kapan saja.
AS akan mengadakan pemilihan presiden tahun depan, tetapi pandangan AS yang menganggap Tiongkok sebagai saingan strategis utama tidak akan berubah hanya karena pemilihan presiden yang akan datang.
Pemimpin terkemuka Partai Republik saat ini adalah mantan Presiden Donald Trump, yang dikenal dengan pendekatannya yang keras terhadap Tiongkok selama masa jabatannya. Sementara itu, Presiden Biden, yang berupaya untuk pemilihan kembali, juga tidak siap untuk membuat banyak konsesi kepada Tiongkok.
Saat ini, ia tidak hanya mempertahankan tarif terhadap Tiongkok tetapi juga meningkatkan pembatasan ekspor semikonduktor ke China.
Di sisi lain, setiap latihan militer oleh Tiongkok sebelum pelaksanaan pemilu Taiwan pada Januari tahun depan juga dapat memicu ketegangan dengan Barat.
Seorang ahli hubungan AS-Tiongkok yang juga adalah peneliti senior di American Enterprise Institute (AEI), Zack Cooper, mengatakan, "Ketegangan fundamental dalam hubungan masih ada. Ini adalah peningkatan sementara dalam interaksi, yang mungkin segera diikuti oleh penurunan lain dalam hubungan."