Perubahan karakter menjadi ciri atau tanda kepastian keselamatan. Kepastian keselamatan bukan karena keyakinan secara mental bahwa dia akan masuk surga karena percaya Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, tetapi keselamatan itu proses perubahan yang dialami seseorang, sampai orang mengagumi betapa hebat pekerjaan Roh Kudus. Seharusnya seseorang tahu dan mesti merasakan perubahan itu. Sehingga, masuk surga akhirnya bukan sekadar keyakinan, tetapi tahu bahwa manusia seperti ini layak bersama dengan Allah.
Namun, setan itu cerdik. Ia memberikan doktrin-doktrin yang hanya memformat pikiran secara sistematis teologis. Semua diselesaikan di atas kertas, di atas tulisan dalam format definisi “Percaya Yesus, selamat.” Ada lagi yang mengatakan, “Kamu ditentukan untuk selamat, pasti selamat. Kalau kamu ditentukan selamat, kamu tidak bisa menolak keselamatan. Namun, yang tidak ditentukan selamat, tidak akan bisa menerima keselamatan.” Semua hanya diformatkan dalam tulisan. Mestinya kekristenan tidak boleh diselesaikan di atas kertas. Namun, bukan berarti kita tidak setuju teologi, tetapi Allah yang hidup harus dialami. Perubahan bukan di atas kertas, dimasukkan dalam pikiran atau rasio, melainkan dalam perjalanan hidup konkret di mana seseorang diubahkan.
Keselamatan itu mengagumkan. Bukan hanya terhindar dari neraka dan diperkenankan masuk surga, tetapi perubahan; yaitu perubahan karakter kita. Maka, kita dibuat kagum oleh perubahan-perubahan tersebut, sampai akhirnya kita bukan hanya percaya kalau kita selamat, melainkan kita tahu kita selamat. Pada akhirnya, orang seperti ini sama sekali tidak takut mati. Seperti Paulus berkata, “Kalau aku disuruh memilih hidup atau mati, aku pilih bersama Tuhan.” Bukan spekulasi; bukan untung-untungan, bukan “mudah-mudahan diterima di sisi Tuhan,” bukan. Semua ada tatanannya. Kalau kita mengikuti tatanan itu, ada kepastian. Alkitab menunjukkan kepastian ini. Filipi 2:12 mengatakan, “Kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar.” Artinya, kita harus merespons keselamatan yang Tuhan berikan untuk memasuki pengalaman penggarapan Tuhan atas diri kita, atas karakter kita, di dalam dan melalui Roh Kudus. Itu luar biasa.
Para pendeta—khususnya—punya potensi untuk stagnan, berhenti, karena sudah punya pengetahuan, sudah memiliki pengetahuan teologi yang cukup, punya posisi di dalam gereja, mendapatkan legitimasi dari jemaat bahwa ini pendeta; wakil Tuhan, orang baik, rohaniwan. Dia lupa bahwa dia tidak boleh berhenti berubah. Perubahan akan berhenti waktu kita menutup mata. Kita tidak boleh berhenti berubah. Kita berhenti berubah, berarti mati. Bukan berlebihan kalau kita selalu memikirkan hal ini, karena pemazmur juga mengajarkannya. Kalau kita menunda, akhirnya kita membatalkan.
Banyak orang berpikir bahwa selalu ada waktu untuk berubah, selalu ada waktu untuk bertobat. Mereka lupa bahwa dalam perjalanan hidup, ketika kesempatan demi kesempatan yang Tuhan berikan tidak digunakan, hati seseorang mengeras, sampai dia tidak bisa bertobat. Kalau kita tidak belajar menjumpai Tuhan dalam doa dan perjumpaan konkret, akhirnya kita tidak sanggup percaya. Nanti di ujung maut, kita mencoba untuk mencari, meraih Tuhan, tetapi kita tidak mampu. Sekarang kita masih bisa berkata “percaya Tuhan.” Bersyukur Tuhan masih memberi kita kesempatan untuk memiliki pengalaman dengan Tuhan melalui doa, pengalaman hidup setiap hari. Perjumpaan dengan Tuhan lewat doa itu menstimulasi roh kita. Kita harus mengalami perjumpaan dengan Tuhan melalui peristiwa-peristiwa hidup di mana kita melihat kehadiran Tuhan, manuver Tuhan.
Dia menyertai bukan hanya karena mau melindungi, menjaga kita. Dia Bapa yang mendidik, Guru yang mengajar. Kita kagum terhadap hikmat kebijaksanaan Allah yang mengubah kita lewat berbagai peristiwa. Kalau orang Kristen baru memuji Tuhan, mengagumi Tuhan karena kuasa-Nya, keajaiban-Nya di mana Dia mendengar doa, mengabulkan permintaan, menyembuhkan sakit, memulihkan ekonomi,