Kita harus menjaga hadirat Tuhan di mana pun kita berada dan di sepanjang waktu hidup kita dengan setiap kata, perbuatan, renungan hati, dan pikiran kita. Kita sering mendengar orang berkata, “Hidup ini adalah pilihan,” dan itu benar. Bahkan, kita sendiri ikut mengucapkannya. Tetapi masalahnya, apa yang kita pilih? Kalau hanya soal memilih jodoh, pendidikan, pekerjaan, itu belumlah pemilihan yang berisiko tinggi, walaupun tentu cukup berisiko. Tetapi, bagi mereka yang memiliki martabat tinggi—martabat anak-anak Allah—pilihannya hanyalah satu, menjadi anak-anak Allah yang berstandar Allah atau bukan.
Kalau kita memperhatikan tokoh-tokoh iman di dalam Alkitab yang disebut sebagai sahabat-sahabat Yahweh, yang juga menjadi kekasih-kekasih Tuhan, mereka adalah orang-orang yang ‘tidak normal.’ Apakah Abraham hidupnya normal? Dia sudah ada di satu wilayah, yang pada zamannya merupakan kota metropolis dan maju di lembah Sumeria. Tetapi ia meninggalkan kampung halaman, negeri, dan sanak familinya demi menuruti keinginan Elohim Yahweh yang tidak dikenal oleh banyak orang. Ia pergi ke negeri yang Yahweh akan tunjukkan. Bahkan, sampai mati Abraham tidak melihat negeri tersebut. Ternyata negeri itu seperti yang dikatakan dalam Ibrani 11:9-14; Kanaan surgaw; langit baru bumi baru. Abraham pun menapaki hari, minggu, bulan, tahun-tahun hidupnya selama seperempat abad, seakan-akan sia-sia dalam penantian akan penggenapan janji anak yang akan meneruskan garis keturunannya.
Apakah normal bagi Musa yang sudah menjadi anak bangsawan, bisa dikatakan calon pewaris dari takhta Firaun, meninggalkan kegemerlapan istana, kenyamanan, keagungan, kemuliaan istana, lalu memilih untuk menjadi seorang pelarian? Apakah normal bagi Daniel, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego, yang bisa hidup sebagai anak-anak bangsawan, diistimewakan dari orang-orang buangan lain, bisa melayani raja, tetapi mereka memilih untuk tetap dalam integritasnya, tidak menajiskan diri dengan makanan yang dihidangkan untuk mereka, demi kesucian hidup, sebagai anak-anak Israel yang menyembah Elohim Yahweh.
Apakah normal sementara orang bisa nyaman dan menikmati kehidupan, jika menyembah patung yang dibangun Nebukadnezar di lembah Dura, tetapi Sadrakh, Mesakh, dan Abednego memilih untuk tidak menyembah walaupun mereka diancam dengan hukuman dibakar di dapur perapian yang dinyalakan tujuh kali lipat panasnya? Apakah normal bagi Daniel yang mestinya sudah menikmati kedudukan sebagai salah satu hulubalang, pejabat kerajaan, namun ketika dilarang untuk berdoa, Daniel tetap sembahyang dan berkiblat ke Yerusalem? Dia juga harus mempertaruhkan nyawa dan kenyamanan hidupnya.
Yang terlebih lagi adalah Tuhan Yesus, yang harus meninggalkan kemuliaan-Nya, menjadi manusia yang dalam segala hal disamakan dengan kita, apakah normal? Demikian juga Paulus yang mencontoh kehidupan Yesus. Paulus masih bisa menjadi seorang yang terhormat di tengah-tengah anggota Sanhedrin, tetapi perjumpaan dengan Yesus membuat ia rela meninggalkan semuanya. Dalam kesaksiannya di Filipi 3:7-9 ia berkata, “Segala sesuatu yang dulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi karena pengenalanku akan Kristus Yesus lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah, aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus.”
Semua yang kita baca itu tidak wajar dan tidak normal. Kita bisa pergi berlibur, tetapi kita memilih duduk di gereja, ini juga agak tidak normal. Doa bisa di rumah, ada streaming online, tetapi kita memilih hadir, itu pun tidak normal. Banyak alasan bisa kita utarakan; tetapi hanya menunggu waktu, seseorang yang tidak sungguh-sungguh mencari Tuhan, makin hari pasti makin lumpuh. Sebagai seorang hamba Tuhan, dia bisa berkhotbah, tetapi pasti lumpuh; rohnya lemah dan tunggu waktu, jemaat akan meninggalkan karena tidak merasa ada urapan dan hadirat Tuhan.