Podcast Bicara Musik

Ini adalah bagian terakhir dari rangkaian Music Beyond Jakarta. Kali ini, Alvin Yunata dan David Tarigan mencoba bertanya kepada punggawa kancah Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Ozzy.   

Selain menjadi gitaris dari Binal (yang sebelumnya menjadi band favorit Alvin dan David di Bedah Musik Suka-Suka), Ozzy juga menjalankan Sonic Pop Records, menjalankan proyek noise, Gilababi, dan aktif menghidupkan kancah musik independen di kotanya.  

Sedikit lucu, sedikit blak-blakan, dan lumayan frontal, ini lah hasil perbincangan mereka.

Setelah berbincang dengan dua wakil dari barat dan satu wakil dari Timur Indonesia, kali ini David Tarigan dan Alvin Yunata beranjak ke tengah Indonesia. Adalah Timmy, manajer dari unit twee pop asal Lombok, The Dare yang mereka ajak memetakan kancah independen Nusantara kali ini.  

Timmy yang sebelumnya bersama Sundancer dan bandnya membuka jalan ke beberapa kota di Jawa pasti punya banyak cerita menarik dari kampung halamannya.

Bedah Musik Suka-Suka kembali lagi dengan lima pilihan lagu yang diulas oleh om-om kita, David Tarigan dan Alvin Yunata. Secara tidak sengaja, episode kali ini hanya memuat satu lagu yang berasal dari kota besar Jawa Timur yaitu, Pekalongan.. Indonesia ternyata tidak sekecil yang kami (dan mungkin kalian) duga.  Kali ini, Alvin dan David juga nampaknya sudah memantapkan tekad lagu mana yang menurut mereka terbaik.

Bagaimana caranya toko rekaman fisik bisa tetap bertahan di kala kita bisa mendengar musik-musik secara gratis dengan katalog tak habis seluas samudera?

Seperti diketahui pasar rekaman fisik, khususnya piringan hitam, sempat meledak pada kurun 2010-2015 silam. Saat itu banyak berjamuran pedagang-pedagang rekaman dadakan seiring jor-jorannya para kolektor generasi baru merespons tren yang berhasil membuat banyak pedagang rekaman sekejap jadi jutawan. Begitu gila era itu hingga omzetnya pun badai: 20 juta rupiah dalam 15 menit gairah berhala. Tapi kemudian hadir era musik streaming, tren berganti instan dan seketika bisnis rekaman fisik tidak lagi semidas dulu. Beberapa toko terpaksa tutup gagal bersaing dengan layanan premium Rp. 50 ribu berisi jutaan lagu. Keadaan yang akhirnya memutar otak para pemain bisnisnya untuk bertransformasi, berusaha melayani jajahan tren dan tetap menjual pada titik terlesu sekali pun.

Kami mengundang dua pedagang plat, Rendi Pratama dari La Munai Records dan Samson Pho dari Laidback Blues Records untuk membeberkan kiat serta rahasia langgeng berdagang rekaman fisik di Indonesia.

Kampanye anti narkotika pemerintah Indonesia dimulai sejak pemuda-pemuda gondrong dicepaki aparat di pinggir jalan, dituduh calon subversif. Itu tahun 1971 dan Orde Baru yang baru saja membuka kembali akses budaya barat ke dalam negeri ironisnya malah 'noid dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi akibat telah menderaskan kebebasan. Mereka tidak siap menghadapi perlawanan budaya anak muda saat itu—para baby boomers berwawasan liberal produk singkat westernisasi. Lalu memantik ide-ide liar seperti yang dikhawatirkan negara bakal merusak moral bangsa: rock & roll dan drugs, terutama ditengarai sebagai kesatuan biang keladi. Kesadaran pro-kontra terhadap dua hal tersebut pun terbelah, tolak atau selebrasikan, pilihan yang kemudian melahirkan sebuah fase unik dalam sejarah musik Indonesia, ketika propaganda lagu-lagu anti narkotik justru disyiarkan dengan aransemen 'narkotik'. Begitu polos dan anomalis sampai-sampai kami membatin berapa pocong ganja yang mereka isap sebelum merekam lagu-lagu tersebut di studio? Sebagai informasi, regulasi resmi pemerintah terkait wahana teler-teleran baru terbit pada paruh kedua dekade 70-an lewat UU No. 8 dan No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika di mana pengguna bisa diancam maks. 2 tahun bui, sementara pengedar dituntut kurungan 20 tahun atau maks. seumur hidup plus denda 30 juta rupiah.

Tujuh dekade berlalu sudah sejak speaker-speaker ampli sengaja dijebol sampai kawat-kawatnya dipotong demi usaha menghasilkan suara gita kotor dan 'mengganggu' yang sekarang kita kenal dengan distorsi. Melahirkan rock & roll kemudian dalam segala keterbatasannya. Menelisik lebih dalam, pada SINIAR DNA #3 David dan Alvin bercerita tentang Gitar. Bagi mereka gitar adalah instrumen revolusi paling panas selain vodka dan haus kebebasan, seperti itulah kira-kira episode kali ini meromantisasi gitar.

Bandung menjadi sejarah yang menyimpan banyak cerita bagi DNA dan juga teman-teman sepengalaman di scene band-band underground dalam kurun waktu 1994-1999. DNA era underground kota Bandung ini dimulai ketika David pindah ke sana untuk sekolah seni N’ Alvin pensiun dini sebagai anak hardcore setelah menonton Pure Saturday manggung bawain Ride. Momen gila yang mereka lewati, mengubah cerita keduanya untuk bisa sampai di titik ini. Mengoleksi air kencing teman-teman sendiri, dipuja mamang-mamang angkot, dan kelakuan-kelakuan ‘masa indah banget sekali pisan’ yang mustahil terulang lagi. 

Assalamualaikum, my beloved folks! Di episode ke-2 kali ini, Alvin Yunata dan David Tarigan atau David dan Alvin ngobrol bareng sama anak band dari Jatinangor, eh apa dari Bandung ya? Acin dan Rizal dari The Panturas bercerita awal mula bikin band begituan. Acin dan Rizal yang lulusan Universitas Padjajaran Bandung adalah potret anak band yang santun, santuy dan tidak suka mabuk. Bahkan Acin selalu sholat lima waktu, bersajadahkan papan surf di atas ombak.

Assalamualaikum, my beloved folks! Di episode ke-2 kali ini, Alvin dan David atau David dan Alvin ngobrol bareng sama anak band dari Jatinangor, eh apa dari Bandung ya? Acin dan Rizal dari The Panturas bercerita awal mula bikin band begituan. Acin dan Rizal yang lulusan Universitas Padjajaran Bandung adalah potret anak band yang santun, santuy dan tidak suka mabuk. Bahkan Acin selalu sholat lima waktu, bersajadahkan papan surf di atas ombak.

Is This It. Terbit pada 2001, album yang dirilis oleh band yang digadang-gadang sebagai penyelamat rock and roll pada masa itu. The Strokes. Dipuji oleh berbagai pers dunia sebagai "nenek moyang dari era baru yang berani dalam rock," "band rock terhebat sejak Rolling Stones" dan "kedatangan kedua Velvet Underground," dan sebagainya. The Strokes bukanlah dewa. Meskipun dunia dilanda demam Strokes, seiring menjamurnya tren revival garage rock semakin melancipkan pengaruh The Strokes pada paruh awal Y2K. Termasuk ke Indonesia. Dalam Siniar DNA episode perdana, kolaborasi @bicaramusik.id dan @amvibe.id David Tarigan N' Alvin Yunata yang menjalani masa muda hipster dan penuh gejolak di era itu, menjadi bagian dari generasi transisi yang ikut terpicu demam Strokes. Selamat mendengarkan!