AGAMA UNTUK YANG BERAKAL
Tanpa agama, akal menjadi liar. Tanpa akal, agama tampak kaku. Agama dan akal adalah dua sayap bagi relijius moderat.
Akal memperjelas hukum-hukum horisontal yang mengimmanenkan Tuhan. Agama menjelaskan hukum-hukum vertikal yang mentransendenkan manusia.
Banyak orang mengira akal hanyalah logika empiris, hingga sebagian saintis jadi jumud dalam beragama. Padahal ia lebih luas dari science.
Teologi dan aksiologi, tidak empiris, tapi rasional karena akal menegaskan kausalitas yang pada diri hukumnya tidak empiris meski produknya empiris.
Ateisme dan anti agama adalah ekses dari peliburan agama (logika) dalam agama atau ekses dari reduksi logika hanya pada realitas sensual saintifik.
Mukjizat Nabi-Nabi termasuk Isra’ Mi’raj mungkin tidak saintifik (karena tidak induktif), tapi bila dilihat secara kausal dan deduktif, ia logis.
Saintisme yang menganggap agama tidak logis melahirkan anti agama. Skriptualisme yang menganggap agama tidak logis melahirkan anti logika. Mutualisme antar keduanya.
Sekilas pernyataan orang-orang yang mengaku anti agama itu cukup cerdas dan “wah”, tapi bagi sebagian yang sudah akrab dengan aufkarung dan ateisme, itu biasa, bahkan paradoks.
Dengan paradigma agama yang rasional, semua doktrin-doktrin mayor agama harus lolos inferensi dan sillogisme. Bila tidak lolos, bisa dianggap bukan bagiannya.
Karena agama diturunkan untuk makhluk rasional, ajarannya pasti rasional. Kalau dirasa tidak rasional, perlu dinalarkan lagi dan didiskusikan.
DR MUHSIN LABIB
https://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML