Secara umum surah ini dinamakan dengan surah “‘Abasa”, meski memiliki nama lain semisal Ibnu ‘Arabi menamai dengan surah “Ibnu Maktum”, atau dalam syarh kitab Shohih Bukhori dinamai dengan surah “Al-Safarah” dan lain sebagainya. Ayat ini turun setelah surah al-Najm dan sebelum surah al-Qadr. Dikategorikan Makkiyah karena turun di Makkah.
عَبَسَ وَتَوَلَّى (1) أَنْ جَاءَهُ الأَعْمَى (2) وَمَا يُدْرِيْكَ لَعَلّهُ يَزَّكَّى (3) اَوْ يَزَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى – 4
Ibnu Ummi Maktum nama aslinya adalah ‘Abdullah, ada juga yang berpendapat namanya ‘Amr. Disebut Ummi Maktum dikarenakan dia terlahir dalam keadaan buta. Ibunya berasal dari Bani Makhzum dan ayahnya berasal dari Bani ‘Amir. Ia termasuk dari sahabat nabi yang awal masuk Islam dan ikut serta saat peristiwa hijrah ke Madinah.
Abdullah bin Ummi Maktum berhasil mencuri perhatian Allah Swt. Terbukti dengan diturunkannya surah ‘Abasa yang disebabkan oleh dirinya. Kejadiannya yaitu saat di Makkah, Nabi sedang bersama pembesar Quraisy untuk berdiskusi, diantara mereka ada Abu Jahl, ‘Utbah bin Rabi’ah, ‘Abas bin Abd al-Muthollib, dan Walid bin Murighah.
Harapnnya dengan diskusi tersebut mereka tercerahkan dan bisa masuk Islam.
Disaat nabi sedang berdiskusi, Abdullah bin Ummi Maktum datang, dan meminta diajarkan tentang Islam. Ucapan itu ia sampaikan berkali-kali. Hal itu membuat Nabi memandanganya dengan tatapan tidak senang karena percakapannya jadi terputus.
Imam Malik meriwayatkan dalam kitabnya al-Muwaththa’ dari Urwah dari ayahnya, bahwa surah ini tertuju pada seorang sahabat bernama Ibnu Ummi Maktum yang pada saat itu mendatangi Rasulullah Saw. untuk meminta petunjuk terkait Islam. Namun, posisi Rasulullah ketika itu sedang bersama dengan pembesar Quraisy sehingga mengacuhkan Ibnu Ummi Maktum. Thabari mengatakan sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa ketika itu Ibnu Ummi Mamtum hendak membacakan ayat Alquran dihadapan Nabi.
Acuhnya Nabi terhadap Abdullah bin Ummi Maktum kemudian mendapat teguran dari Allah pada ayat ke 3-4 dalam surah ini. Maksud dari ayat 3-4 adalah, Seandainya nabi mengetahui tujuan dari Abdullah bin Ummi Maktum yang meminta diajarkan Islam dan didengar bacaan ayat Alquran, ternyata itu lebih besar manfaat bagi dirinya dan lebih baik untuknya.

اَمَّا مَنِ استَغْنَى (5) فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى (6) وَمَا عَلَيْكَ اَلاَّ يَزَّكَّى (7) وَهُوَ يَخْشَى (8) فَأَ نْتَ عَنْهُ تَلَهَّا (10)
Pada ayat ke lima kata “istaghna” ditujukan pada orang-orang Qurasy yang “merasa cukup”. Bukan cukup terhadap harta, akan tetapi maksudnya adalah mereka tidak memerlukan hidayah. Dan saat itu, nabi sendiri sedang berfokus melayani mereka (orang quraisy).
Sedangkan saat itu pula, ada seseorang (Abdullah bin Ummi Maktum) yang membutuhkannya, orang yang ingin membersihkan dirinya, dan takut pada Allah. Namun diabaikan. Maka ayat 6-10 juga merupakan bentuk teguran Allah pada Nabi Muhammad Saw.
Terlepas dari hal ini, Thahir bin ‘Asyur menegaskan bahwa teguran Allah merupakan bentuk “ta’limiyah”, yaitu pendidikan pada Nabi Muhammad Saw. ketika menghadapi dua situasi yang berbeda. Dimana dalam ayat ini, Nabi dihadapkan dengan orang kafir untuk didakwahkan, dan pada orang muslim yang ingin lebih didekatkan pada Islam.
Dalam situasi ini, penting untuk mendahulukan orang muslim yang ingin mendalami Islam, daripada mendakwahkan orang kafir yang angkuh terhadap Islam.
Karena menambah keimanan seorang Muslim dapat memperkokoh persatuan. Sedangkan mendakwah orang kafir yang acuh, hanyalah kesia-siaan dan tidak mendatangkan kebaikan dari mereka.
Namun akan berbeda halnya, apabila mereka (orang kafir) yang masih bersedia mendengarkan ajaran Islam, yang masih ada harapan hidayah dan kebaikan untuk diterima.
Ini Penjelasannya
Hikmah dari ayat ini menurut Ibnu ‘Asyur adalah kita diajarkan melalui kisah ini untuk tidak memalingkan diri pada orang-orang yang membutuhkan. Dan tidak meremehkan orang tersebut meski ia memiliki kekurangan.
Mendahulukan orang muslim yang