Dalam kehidupan ini hanya ada dua jenis harta. Yang pertama, Allah sendiri. Yang kedua, apa pun yang bukan Allah. Bicara mengenai ‘apa pun yang bukan Allah,’ ini jadi masalah karena kalau orang menjadikan objek itu sesuatu yang baik, maka dia jadi manusia baik. Kalau orang menjadikan objek sesembahannya sesuatu yang salah, dia menjadi jahat. Sebagai umat pilihan atau orang Kristen, tidak bisa tidak, harus menjadikan Allah sebagai satu-satunya harta. Kalau tidak menjadikan Allah menjadi satu-satunya harta, berarti memilih yang lain. Orang seperti itu berarti tidak memosisikan diri sebagai anak Allah; bukan anggota keluarga Kerajaan Allah, bukan mempelai Kristus. Mengapa demikian? Karena orang Kristen sebagai anak-anak Allah memang ditetapkan untuk hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya harta. Hanya dengan bersikap ini—yaitu seseorang menjadikan Allah sebagai satu-satunya harta—maka barulah orang itu menjadi umat pilihan Allah yang benar, menjadi anak-anak Allah, atau menjadi mempelai Kristus.
Makanya, tidak heran kalau orang percaya itu dituntut sempurna seperti Bapa, serupa dengan Yesus. Orang yang tidak menjadikan Allah satu-satunya harta, tidak mungkin sempurna seperti Bapa dan tidak mungkin serupa dengan Yesus. Orang percaya tidak dikehendaki memiliki harta, kecuali Allah sendiri. Itulah sebabnya firman Tuhan mengatakan bahwa “kamu bukan milik kamu sendiri” (1Kor. 6:19-20). Kita tidak memiliki diri kita, berarti tidak memiliki apa-apa. Makanya di dalam Lukas 16:12 dikatakan, “hartamu sendiri itu bukan di sini. Bukan dunia ini. Jangan mengingini.” Tuhan Yesus juga berkata, “kumpulkan harta di surga, bukan di bumi.” Apakah dengan begitu, kita tidak perlu mencari uang? Harus. Karena firman Tuhan mengatakan, “Baik kamu makan atau minum atau melakukan sesuatu, lakukan semua untuk Tuhan.” Bekerja, pacaran, menikah, dan punya anak, semuanya untuk Tuhan. Ini yang disebut dengan mengumpulkan harta di surga. Ironis, standar ini sudah hampir-hampir hilang. Melalui renungan harian ini, kita mau kembali ke jalan ini. Kita tidak boleh memiliki harta, kecuali Tuhan.
Jadi kalau kita mencari uang, bisnis, karier, studi, kuliah, jadi sarjana, mendapat pangkat, gelar, semua harus dipersembahkan untuk Tuhan. Bisa dimengerti kalau kehidupan orang percaya harus didasarkan pada prinsip “asal ada makanan dan pakaian, cukup.” Yesus sendiri menjadi teladan kita mengatakan, “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.” Dalam hal ini, sebenarnya kekristenan yang sejati yang diajarkan Yesus, hanya bisa dikenakan oleh orang-orang nekat; orang-orang yang berani tidak wajar. Kalau tidak nekat, pasti hidupnya dalam kewajaran seperti manusia lain. Inilah yang membuat kekristenan merosot selama berabad-abad, sampai hari ini. Kalau seseorang tidak mengenal Elohim Yahweh, tidak mengenal keselamatan dalam Yesus Kristus, tidak dituntut memiliki kehidupan seperti orang percaya ini, yakni menjadikan Elohim Yahweh satu-satunya harta. Maka, kita jangan berpikir dan berpandangan bahwa orang di luar Kristen pasti memiliki pengertian dan sikap yang salah mengenai harta. Kita tidak bisa membandingkan orang Kristen dengan mereka yang tidak mengenal keselamatan dalam Yesus Kristus. Memang mereka tidak memiliki pengertian mengenai keselamatan dalam Yesus Kristus dan tidak mengenal Allah Abraham, Ishak, dan Yakub, tetapi bukan tidak mungkin—dan faktanya demikian—tidak sedikit yang memiliki filosofi-filosofi yang tidak menjadikan harta materi dunia sebagai nilai tinggi.
Dalam kenyataan hidup, kita dapat jumpai orang-orang yang rela tidak menjadi kaya secara harta materi. Rela tidak memiliki harta dunia, rela melepaskan semua gemerlap dunia, menjadi orang-orang sederhana atau menjadi orang yang benar-benar miskin. Banyak orang memandang keadaan itu keadaan yang mulia dan terhormat. Dalam kisah Sidharta Gautama, kira-kira 500 tahun sebelum Tuhan Yesus lahir,