Sejujurnya, banyak kehidupan orang Kristen yang jauh dari model Anak Allah, Yesus, dan hal itu sudah menjadi satu hal yang biasa, umum. Bukan sesuatu yang dianggap cela atau di bawah standar. Sejatinya, setelah menjadi anak-anak Allah, kita harus beribadah sebagai anak-anak Allah. Setelah kita diampuni, kita tidak boleh meleset lagi. Betapa sesatnya banyak orang Kristen, yang berpendirian kalau sudah berbuat dosa, mereka akan minta ampun, lalu selesai. Lalu berbuat dosa lagi, lalu minta ampun lagi supaya selesai. Seharusnya kita bukan hanya tidak melakukan pelanggaran umum, namun tidak meleset lagi; tepat seperti apa yang Allah kehendaki. Dan ini sebenarnya yang dirindukan oleh Yang Maha Agung Elohim Yahweh. Tuhan menciptakan manusia yang dalam segala perilakunya searah dengan Bapa.
Searah dengan Bapa, searah dengan pikiran dan perasaan Bapa. Dan itu menyenangkan hati Bapa. Banyak orang baik di dunia, bahkan bisa sampai tingkat baik yang menakjubkan di mata manusia. Tetapi orang Kristen bukan hanya mampu berbuat baik, melainkan perilakunya searah dengan Bapa, pikirannya tersambung dengan Tuhan. Sehingga apa yang dilakukan orang percaya, menghibur Allah. Allah tidak butuh apa-apa. Dia Maha Kaya, tetapi Allah bertekad untuk berdinamika dengan menciptakan manusia yang memiliki gambar seperti Diri-Nya; memiliki pikiran dan perasaan. Dengan memiliki pikiran dan perasaan tersebut, manusia bisa memberontak, membenci Allah, atau bisa mengasihi Allah dan mengabdi.
Tentu Allah menghendaki manusia bisa berperilaku bukan seperti robot dalam kehendak bebasnya. Jadi, manusia bisa berperilaku selalu sesuai dengan kehendak-Nya. Ini adalah kehidupan yang jarang dimiliki orang. Sedikit sekali. Bahkan orang-orang Kristen yang mestinya memiliki kemungkinan mencapai hal ini, tidak memanfaatkan anugerah yang begitu besar yang memungkinkannya memiliki keadaan seperti itu; yaitu keadaan agar seseorang memiliki kemuliaan Allah. Kalau manusia bisa tersambung dengan pikiran dan perasaan Allah, dan segala sesuatu yang dilakukan sesuai dengan pikiran, perasaan Allah itu yang dimaksud dengan memiliki kemuliaan Allah.
Tetapi kenyataannya, kita melihat kekristenan yang telah merosot di seluruh dunia, dan kita mewarisi kekristenan yang merosot ini seakan-akan boleh ditawar. Padahal dalam Roma 12:2 firman Tuhan jelas mengatakan, “Jangan serupa dengan dunia.” Kalau Allah berkata “jangan,” berarti kita tidak boleh main-main. Sebagai orang tua atau pimpinan, kadang kita memerintahkan anak atau bawahan untuk tidak melakukan sesuatu hal; “jangan begitu.” Dan ketika hal itu dilanggar, berarti mereka melukai, melecehkan, dan meremehkan kita.
Karena standar yang sudah jatuh, kita kompromi. Sikap mengizinkan, permissible, lalu semua kita rusak. Dalam keadaan rusak, dalam keadaan tidak mencapai target, namun kita merasa nyaman-nyaman dan aman-aman saja, padahal bahaya sekali keadaannya. Keadaan seperti ini adalah keadaan yang nanti suatu hari akan ditelanjangi Tuhan. Dan Tuhan berkata, “Aku tidak kenal kamu.” Kita tidak boleh kompromi. Kegagalan hidup kita sebagai anak-anak Allah adalah ketika kita tidak serupa dengan Yesus.
Keadaan kita yang miskin, gagal karier, gagal berumah tangga, tidak menikah, tidak punya keturunan atau apa pun, bukanlah sesuatu yang boleh dianggap bencana atau kegagalan. Sebab sejak Kerajaan Allah diberitakan, semuanya turun dari takhtanya. Hanya ada satu yang tidak turun: Allah. Dia tidak turun, Dia harus ditinggikan. Hidup meninggikan Tuhan berarti hidup di dalam penghormatan kepada-Nya dengan menjadi anak kesukaan Dia; ibarat lagu, menjadi lagu kesukaan. Jadi setiap hari kalau kita melakukan segala sesuatu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah, itu menyenangkan Tuhan. Setelah mencapai kesempurnaan-Nya, kata firman Tuhan, Yesus menjadi aitios; pokok keselamatan.
Di Kejadian 6 dikatakan, “Perbuatan manusia jahat semata-mata,” dan itu menyedihkan hati Tuhan. Tetapi,