Sejatinya, setiap orang memiliki teologinya sendiri sesuai dengan pengalaman hidupnya. Teologi artinya studi atau ilmu tentang Tuhan. Ilmu tentang Tuhan dalam hidupnya si A, tentu berbeda dengan si B. Hal ini terkait dengan pergumulan hidup orang itu. Ada spesifikasinya. Allah mau berurusan dengan setiap individu secara spesifik. Sebab Allah membuat kurikulum untuk setiap individu, dan itu unik. Tuhan mau berurusan dengan kita secara pribadi. Kita akan sangat menyesal kalau hanya menjadi orang Kristen yang punya pengetahuan tentang Tuhan dari kata buku, kata orang, kata pengkhotbah, kata pembicara. Sejatinya, kita harus bertemu Tuhan langsung.
Kalau seseorang berinteraksi dengan Allah, maka semua pasti diletakkan pada proporsinya. Interaksi dengan Tuhan itu luar biasa, karena ada impartasi; penularan. Sampai akhirnya dalam pertumbuhan, kita bukan hanya tidak berbuat dosa melainkan sampai tidak bisa berbuat dosa. Dosa jadi begitu menjijikkan. Seluruh saraf kita benar-benar diendapi oleh kehadiran Allah. Inilah yang namanya perubahan kodrat. Jadi, kalau kita menjadi orang baik hanya karena takut masuk penjara, malu dilihat tetangga, berarti kita belum kudus sekali.
Ironis, jika kita percaya ada Allah, tapi tidak pernah kita temui. Betapa Dia ingin berbicara kepada setiap kita. Bayangkan, ketika kita membaringkan tubuh di tempat tidur, Tuhan di samping kita dan berkata, “Anak-Ku, kau belum berdialog dengan Aku. Aku mau beri tahu banyak hal kepadamu.” Tetapi kita masih pegang HP, lihat yang lain. Maka, jangan melihat apa yang Tuhan tidak ikut menikmatinya. Sebab sebanyak apa pun teologi yang kita miliki, sebanyak apa pun ilmu tentang Tuhan yang ada di pikiran kita, kita tetap harus datang kepada Tuhan. Seakan-akan kita tidak punya ilmu apa-apa.
Ingat pesan ini: the only world I have is Jesus. The only world I have is Father, my Lord, my God, satu-satunya Tuhan kita. Bersyukur kalau Tuhan memproses kita begitu hebat, yang membuat kita mencari Tuhan. Tidak peduli berapa tinggi pendidikan yang telah kita capai, berapa banyak buku yang telah kita tulis dan baca, berapa ribu khotbah yang telah kita sampaikan, berapa kokoh argumentasi teologi yang kita miliki. Tetapi kalau sudah di hadapan Tuhan, kita berkata, “I am nothing, Lord. Jangan tinggalkan aku, Tuhan. Pegang tanganku dan tuntun.”
Kita punya 5 musuh besar. Pertama, kuasa kegelapan. Kedua, diri kita sendiri; manusia lama kita ini jahat dan licik. Kuat menyatu dan tahu momentum mana yang bisa menjatuhkan kita. Licik. Ketiga, pengaruh dunia yang jahat. Keempat, malapetaka, marabahaya, kecelakaan, dan lain-lain. Kelima, orang-orang yang bermaksud jahat kepada kita. Bukan takut manusianya, tetapi kita takut Tuhan, kita takut merespons salah. Kita harus mengasihi orang-orang yang melukai kita, dan menjaga hati itu tidak mudah.
Jangan kita merasa tenang-tenang. Karena sejujurnya, standar hidup kita belum seperti yang Allah kehendaki. Kita harus melakukan kehendak Bapa. Sudah, belum? Apa salah satu ciri dari orang yang belum melakukan kehendak Allah? Takut mati. Maka, mari kita bertobat; mengakui dosa yang kita lakukan dan jangan mengulangi lagi. Bagaimana cara kita berhenti berbuat dosa? Berjanji. Sebutkan dosa kita, minta ampun secara detail dan jangan dilakukan lagi. Kalaupun kita melakukan lagi, pasti kita akan sakit sampai trauma dan fobia berat. Sehingga kita tidak melakukan dosa lagi. Sampai bukan tidak mau berbuat dosa, tetapi tidak bisa berbuat dosa. Ini berarti kodrat kita diubah.
Perjumpaan dengan Tuhan itu mengubah kodrat. Yang dikatakan di dalam 2 Petrus 1:3-4, mengenakan kodrat ilahi; theios. Biasakanlah mengangkat hati, menyembah Allah. Jangan kalau ada masalah, baru “Oh, Tuhan…” tetapi setelah itu turun lagi. Kita harus terus belajar mengangkat jiwa. Memandang Tuhan, seakan-akan ada masalah besar, ada ancaman berat di sekitar kita. Memang ada lima musuh besar. Dunia kita makin banyak orang jahat,