Siapakah yang membuat kurikulum? Bisakah kita membuatnya sendiri? Apa landasannya? Pertanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan pembuka di kelas semester lalu. Seminggu dua kali, selama delapan minggu, kami terus mengembangkan pertanyaan-pertanyaan lain. Mayoritas tentang kekhawatiran bagaimana nanti menghadapi semester baru dengan model hibrid. Bagaimana jika tidaak lupa caranya bersosialiasi dan mengerjakan tugas bertatap muka, mungkin sambil makan-makan seperti semestinya dilakukan.
Barangkali itu terdengar berlebihan. Namun, selama satu tahun kami bahkan tidak melihat satu sama lain. Hanya mendengarkan suara untuk memastikan bahwa diskusi juga bisa diikuti oleh teman-teman di daerah yang belum memiliki infrastruktur telekomunikasi memadai.
Di satu malam ketika membahas topik hidden curriculum Ivan Illich, Al, salah satu kawan sekelas kami, mengajukan pertanyaan panjang, "Jika kurikulum adalah agenda tersembunyi, kira-kira apa yang disembunyikan rezim Orde Baru? Apa yang diingat oleh orang-orang yang bersekolah di zaman itu? Apakah tentang politik? Kapan kesadaran politik dimiliki oleh orang-orang yang bersekolah waktu itu? Bagaimana jika narasinya bukan haanya tentang politik?" Tentu saja, saya harus membalasnya dengan pertanyaan, "mengapa tidak dicoba untuk bertanya?"
Tidak sesuai dengan rencana pembelajaran. Begitu kekhawatirannya, disusul teman-teman lain. "Mengapa tidak boleh? Kapan terakhir kali kalian berbicara, menelepon, atau ditelepon keluarga kalian?" Pertanyaan itu menjadi awal bagi teman-teman untuk memulai tugas baru. "Memori kolektif orang-orang yang bersekolah di rezim Orde Baru." Begitulah nama kegiatan belajar di kelas kami. Saya sengaja mencobai mereka mengapa tidak rezim lain saja? Jawabannya cukup beragam. Ada yang kakeknya dipenjara, ada yang ayahnya hampir dihilangkan, ada pula yang bercerita bahwa sekolah di rezim ini jauh lebih baik daripada masa kini. Perbedaan ini menjadi alasan mengapa teman-teman memilih topik ini.
Pada akhirnya, episode pertama akan dimulai dari pengalaman Brus. Ia menelepon mamanya di Tual, Pulau Kei. Bagaimana cerita mama Brus? Selamat mendengarkan!
P.S. Kelas ini mengajak mahasiswa untuk memulai memikirkan merancang pengetahuan dari lingkungan sekitarnya. Selain itu, saya meyakini bahwa pendidikan tidak lepas dari peran keluarga. Sebagai sejarawan, tentu saja saya ingin membawa cerita "orang-orang biasa" yang tidak pernah tertulis dalam sejarah. Semua orang punya sejarah!