Ardi Kamal Karima

Surat-Surat Yang Tak Pernah Sampai Ke Langit


Listen Later

Sebuah Puisi: Surat-Surat Yang Tak pernah Sampai Ke Langit

Ditulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal Karima


Puisi ini menyoroti ketimpangan sosial dan kekuasaan yang korup melalui metafora yang tajam. Bagian I dan II menggambarkan tubuh penyair sebagai "kambing hitam" yang dijual di "pasar kata-kata," simbol marginalisasi kaum lemah oleh sistem yang didominasi "kasta kekayaan." Doa-doa yang tercecer seperti receh di selokan dan kata "peduli" yang mati dalam kamus penguasa mencerminkan hilangnya empati di tengah hegemoni materialisme. Penguasa digambarkan sebagai "berhala berdasi" yang menimbang hati dengan "karat emas," menegaskan kritik terhadap oligarki yang mengubah nilai kemanusiaan menjadi transaksi ekonomi. Puisi ini mengecam dunia di mana luka dan jeritan rakyat kecil dianggap tak layak jadi jaminan, sementara kekuasaan menari di atas meja tulis Tuhan.


Puisi ini juga menyuarakan kegagalan komunikasi dengan yang transenden, di mana surat-surat penyair tak sampai ke langit. Bagian IV dan VI mengilustrasikan kesendirian sebagai "kamar tanpa jendela," di mana Tuhan diam menghitung "tiket kehancuran" penyair, seolah-Ilahi tak peduli atau sibuk mengatur pesta oligarki di "pusat neraka." Doa dan keluh yang ditulis di "kertas basah hujan asam" hanya dirobek angin menjadi kembang api gagal, simbol harapan yang pudar. Bahkan kematian orang tua (Bagian III) hanya meninggalkan surat yang "termakan cahaya dan bayang" orang lalu-lalang, menegaskan betapa jeritan manusia tersapu dalam kesibukan dunia yang apatis. Tuhan di sini bukan figur penolong, melainkan hakim yang membagi surga dengan "golok tajam," mencerminkan krisis spiritual dan hilangnya kepercayaan pada keadilan ilahi.


Di tengah kepedihan, puisi ini merangkul paradoks sebagai bentuk resistensi. Bagian VII mengungkap keinginan penyair menjadi "pohon tumbuh terbalik"—akar menjulang ke langit, daun menyentuh bumi—simbol pembalikan tatanan yang timpang. Ini adalah upaya menemukan makna di dunia di mana "surga sudah dibagi-bagi" dengan kekerasan, dan hidup-mati saling bertaut dalam ironi: "hidup yang mematikan" versus "mati yang menghidupkan." Bahkan ketulusan (Bagian V) yang membusuk di sampah menjadi renungan tentang kemanusiaan yang terperangkap antara sifat binatang dan manusia. Puisi ini menutup dengan pertanyaan eksistensial: apakah kehancuran hanyalah ritual rutin akhir pekan? Di balik kepahitan, tersirat upaya untuk tetap bernyawa melalui kata-kata, meski surat-surat itu tak pernah sampai.


#ardikamal #literasi #penulis #dialogue #dialog #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyairindonesia

...more
View all episodesView all episodes
Download on the App Store

Ardi Kamal KarimaBy Ardi Kamal Karima