Sebagai ilustrasi yang bisa membuka pengertian kita dalam rangka memahami hubungan atau relasi dengan Allah adalah ketika kita masih kecil atau anak-anak, kita tidak pernah mau memahami siapa dan bagaimana orangtua kita. Entah tidak mau atau belum mau mengerti karakteristik orangtua. Anak-anak hanya mau dimengerti, hanya mau dipuaskan, hanya mau disenangkan. Kadang-kadang, anak-anak menuntut orangtua seakan-akan mereka berhak menerima apa yang mereka ingini. Bahkan, terkesan orangtua seperti berutang kepada anak-anak.
Orangtua mengerti itu. Orangtua tidak menunjukkan karakteristiknya. Tetapi ada saat dimana orangtua akan berkata kepada anaknya, “Ayah tidak suka ini. Ayah tidak setuju.” Memang kalimat itu kadang-kadang juga terlontar kepada anak yang masih kecil, jika anak itu dipandang sudah mengerti. Jika tidak, orangtua biasanya jarang mengatakan “Ayah tidak suka itu. Itu bukan karakterku.” Sebab, anak-anak belum bisa diajak mengerti. Tetapi ada saat dimana anak-anak harus mau mengerti siapa dan bagaimana orangtua, karakteristik atau hakikat orangtua.
Demikian pula Tuhan terhadap kita. Tuhan itu Bapa yang Mahabaik. Bapa memahami ketika kita belum dewasa. Doa bagi kita adalah permintaan. Doa bagi kita adalah permohonan. Di dalam doa, selalu ada tuntutan kepada Tuhan. Dalam doa, ada keluh kesah. Tetapi ketika kita mulai seharusnya menjadi dewasa, doa menjadi dialog. Mulai kurang ada permohonan, permintaan, apalagi tuntutan. Dalam doa, bukan hanya kita yang berbicara kepada Tuhan, tetapi Tuhan juga berbicara kepada kita. Tahapan ini harus kita miliki dan alami.
Itulah sebabnya, bagi orang percaya yang makin dewasa, doa bukanlah sebuah kewajiban melainkan kebutuhan. Tidak bisa buru-buru atau cepat-cepat, karena di dalam doa ada dialog; ada saat dimana kita menantikan Dia berbicara. Bukan hanya kita mau berbicara. Kita mau Allah mendengar doa, permintaan, tuntutan, keluh kesah kita, tetapi kita juga mau mendengar apa yang Bapa ingini, apa yang Bapa kehendaki. Perasaan-Nya, beban-Nya, yang juga kita boleh mengerti. Dan kalau kita bertumbuh dewasa, kita mau ikut memikulnya. Kita harus jujur memeriksa diri sendiri dalam tingkat kedewasaan rohani yang kita telah capai. Orang percaya yang dewasa akan mau mengerti karakteristik Allah Bapa kita, mau mengerti hakikat-Nya.
Dan ingat ini, bahwa Allah terikat dengan diri-Nya sendiri. Allah tidak terikat oleh siapa pun dan apa pun, tetapi Allah memiliki tatanan. Dia memiliki karakteristik. Dia memiliki hakikat yang tidak berubah dari dulu, sekarang, sampai selama-lamanya. Jadi kalau dalam waktu tertentu Allah bisa menolerir kita, itu karena kita dipandang kanak-kanak. Tetapi ada saat dimana Allah akan menunjukkan karakteristik-Nya. Dia tidak bisa diatur oleh siapa pun dan apa pun, sebab Dia mengatur diri-Nya sendiri.
Dan kalau kita menghayati kebesaran dan kedahsyatan Allah, Dia adalah Pribadi yang Mahabesar, yang sudah ada dari kekal sampai kekal. Dia tidak diciptakan oleh siapa pun. Dia ada di dalam keberadaan-Nya yang kekal. Ia yang memiliki segala kuasa, kemuliaan, dan kerajaan. Maka kita akan tergetar, kita akan menundukkan diri. Kita akan mau mengerti karakteristik-Nya, kita mau mengerti hakikat-Nya, dan menundukkan diri pada hakikat-Nya atau karakteristik-Nya itu. Sampai kita tidak akan mudah meminta sesuatu, tidak akan mudah menuntut, bahkan tidak bisa menuntut kepada-Nya.
Kalau kita bisa menjadi manusia ini, sungguh anugerah. Ada satu ayat firman Tuhan, “bahkan burung pipit telah mendapat sebuah rumah, dan burung layang-layang sebuah sarang tempat menaruh anak-anaknya pada mezbah-mezbah-Mu, ya Tuhan semesta alam. Ya, Rajaku, Ya Allahku.” Dimulai dengan kalimat ini: “betapa disenangi tempat kediaman-Mu, ya Tuhan semesta alam,” Mazmur 84. “Jiwaku hancur karena merindukan pelataran-pelataran Tuhan. Hatiku dan dagingku bersorak-sorai kepada Allah yang hidup. Bahkan burung pipit telah mendapat sebuah rumah,