Gen Z adalah generasi yang berbeda dari generasi-generasi sebelumnya (Thach et al., 2021). Gen Z memiliki harapan, preferensi, dan perspektif kerja yang berbeda serta dinilai menantang bagi organisasi. Karakter Gen Z lebih beragam, bersifat global, serta memberikan pengaruh pada budaya dan sikap masyarakat kebanyakan. Satu hal yang menonjol, Gen Z mampu memanfaatkan perubahan teknologi dalam berbagai sendi kehidupan mereka. Teknologi mereka gunakan sama alaminya layaknya mereka bernafas (Jenkins, 2020). Karakter digital natives yang Gen-Z punya ini mempunyai banyak kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah mereka bisa mengakses informasi yang ada di ujung jari mereka sehingga hal ini memungkinkan Gen Z untuk memperluas pengetahuan mereka dan proaktif dalam pembelajaran mereka. Namun, di sisi lain, kekurangan dari generasi ini adalah mereka menghabiskan terlalu banyak screentime sehingga dapat menimbulkan perasaan terisolasi dan keterampilan sosial yang kurang berkembang (Peltzer & Pengpid, 2017).
Menurut penelitian yang pernah dilakukan di 7 negara ASEAN, 7,8% remaja melaporkan sebagian besar atau selalu merasa kesepian dan 31,3% melaporkan terkadang merasa kesepian dalam 12 bulan terakhir. Setelah disesuaikan dengan faktor sosiodemografi dan dukungan sosial, ditemukan bahwa kesepian dikaitkan dengan kesehatan mental yang buruk, penggunaan narkoba, agresi, dan perilaku berisiko kesehatan lainnya. Rasa kesepian ini menyebabkan Gen Z semakin sulit untuk mencintai dirinya sendiri dan membangun hubungan yang bermakna dengan orang lain, termasuk hubungan dengan keluarga, teman, komunitas, atau orang lain.
Berangkat dari latar belakang tersebut, UGM ASEAN Society sebagai sebuah organisasi kemahasiswaan di Universitas Gadjah Mada, bermaksud mengundang Octavia Putri Tjajadi - Psikolog Klinis Anak dan Remaja untuk menjelaskan lebih dalam mengenai perubahan drastis terkait perilaku dan kebiasaan Gen Z dalam bergaul dan berinteraksi dengan sesama dan aplikasi cara untuk menghadapi masalah tersebut.