
Sign up to save your podcasts
Or


(Taiwan, ROC) --- Edisi terbaru The Economist mengangkat topik Krisis Kekuatan Mengenai Taiwan Akan Segera Tiba sebagai artikel sampul untuk melakukan analisis, menekankan bahwa proteksionisme dan sikap keras Donald Trump yang seharusnya membuat Amerika menjadi lebih hebat, justru malah melemahkan kemampuan AS untuk melindungi Taiwan.
Hal ini dikhawatirkan akan memberi Xi Jin-ping (習近平) pemikiran baru, menganggap harus segera mengambil tindakan militer terhadap Taiwan sebelum kehilangan momentum yang baik.
Namun, para akademisi bersikap hati-hati terhadap hal ini, menekankan bahwa Tiongkok telah lama menganggap Taiwan sebagai milik yang sudah di dalam kantong, sehingga selama bisa tidak menggunakan kekuatan militer mereka tidak akan mengambil tindakan langsung.
Menyerang Taiwan sekarang justru akan menimbulkan masalah tambahan dan membuat mereka menjadi target kritik seluruh dunia.
Kebijakan Tarif Tinggi Membuat The Economist Meragukan Tekad AS untuk Melindungi Taiwan
Analisis The Economist ini menunjukkan bahwa pertarungan tarif AS dengan Tiongkok telah berubah menjadi pertandingan ketahanan, dengan Beijing yang yakin bahwa mereka memiliki kemampuan untuk bertahan hingga akhir.
Donald Trump yang menekankan America First, pada saat yang sama juga menerapkan proteksionisme perdagangan terhadap sekutunya, termasuk mengenakan tarif 32% pada Taiwan dan meminta TSMC memindahkan kapasitas produksi chip ke AS, yang mana semakin melemahkan basis aliansi AS di Asia Pasifik, dan juga membuat tekad AS dalam masalah Taiwan semakin dipertanyakan.
Proteksionisme AS Melemahkan Kemampuan Melindungi Taiwan, Memperkuat Pemikiran Xi Jin-ping untuk Menyerang Taiwan
Artikel tersebut juga menekankan bahwa di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, daya gentar AS sedang melemah, yang membuat strategi Washington untuk mempertahankan perdamaian melalui kekuatan justru menghasilkan efek yang berlawanan.
Khususnya, proteksionisme dan sikap keras Donald Trump yang seharusnya membuat AS menjadi lebih hebat, malah melemahkan kemampuan AS untuk melindungi Taiwan, dan Beijing pasti memperhatikan hal ini.
Beberapa waktu lalu, Xi Jin-ping mungkin masih berpikir bahwa merebut Taiwan harus menunggu, tetapi seiring berjalannya waktu, Xi Jin-ping mungkin akan memiliki pemikiran baru, menganggap bahwa dia harus segera mengambil tindakan supaya tidak kehilangan momentum yang baik.
Terdampak Perang Tarif, Akademisi: AS Tidak Akan Kehilangan Kemampuan Intervensi Keamanan Asia Timur
Namun, para akademisi memilih untuk bersikap hati-hati terhadap masalah ini. Tang Shao-cheng (湯紹成), seorang peneliti di Pusat Hubungan Internasional Universitas Nasional Chengchi berpendapat bahwa artikel ini berfungsi sebagai peringatan. Dan meskipun AS terkena dampak dari perang tariff dan kekacauan internal, tetapi mereka belum kehilangan sepenuhnya kemampuan untuk melakukan intervensi di Asia Timur. Oleh karena itu Tang Shao-cheng merasa bahwa kemungkinan tersebut kian kecil.
Tang Shao-cheng mengatakan, "Apakah benar AS saat ini telah sepenuhnya kehilangan kemampuan intervensi mereka secara internasional atau di Asia Timur? Saya rasa ini adalah pertanyaan besar. Meskipun ini mungkin masalah internal AS, atau perselisihan dengan negara lain akan memiliki dampak, tetapi saya rasa belum sampai pada titik di mana mereka sama sekali tidak peduli dengan masalah keamanan di Asia Timur."
Menyerang Taiwan atau Tidak? Tergantung Dampak Tarif pada Ekonomi Internal Tiongkok
Selain itu, salah seorang profesor di Institut Studi Asia Pasifik Universitas Nanhua, Sun Kuo-hsiang (孫國祥), menganalisis bahwa strategi besar Donald Trump awalnya adalah jika Tiongkok menyerang Taiwan, maka AS akan mengenakan tariff tinggi pada Tiongkok, membuat Tiongkok tidak berani bertindak gegabah terhadap Taiwan karena khawatir tentang perkembangan domestik ekonomi mereka.
Namun, sekarang AS telah mengambil tindakan keras dengan membuka kartu mereka, mengenakan tarif tinggi 145% pada Tiongkok, sehingga sekarang perlu mengamati kondisi perkembangan ekonomi internal Tiongkok sebelum membuat kesimpulan akhir.
Dia mengatakan, "Kita harus mengambil waktu untuk melihat, jika daya beli mereka tidak bisa meningkat, perkembangan ekonomi internal tidak baik, GDP tidak bisa mempertahankan 5%, tingkat pengangguran terlalu tinggi, bagaimana hal ini akan mempengaruhi pembangunan kekuatan militer Tiongkok dan proyeksi kekuatan mereka di seluruh dunia dalam jangka waktu tertentu, baru kita bisa menilai apakah hasil akhir artikel The Economist ini benar seperti yang mereka katakan. Jika tidak, dengan asumsi Tiongkok benar-benar tidak terpengaruh oleh hal-hal ini, maka yang saya lihat saat ini adalah apa yang mereka katakan benar, tren ini memang secara bertahap terjadi."
Jika Tiongkok Bisa Bertahan dari Pukulan Tarif AS, Tidak Perlu Menambah Masalah dan Memperburuk Situasi
Namun, Sun Kuo-hsiang berpendapat, jika Tiongkok benar-benar bisa bertahan dari pukulan tarif Donald Trump, mereka bisa menggantikan kebangkitan AS di panggung internasional, maka Taiwan secara alami akan menjadi milik Tiongkok, jadi mengapa harus menyerang Taiwan sekarang dan menambah masalah, malah membuat diri mereka menjadi target kritik dan menjadi objek kecaman seluruh dunia.
Sun Kuo-hsiang mengatakan, Tiongkok sekarang hanya peduli Taiwan bahwa tidak boleh melakukan kemerdekaan de jure secara langsung, dengan kata lain, mereka sebenarnya sedang menunggu perubahan tren secara keseluruhan, karena itu mereka tidak akan menggunakan kekuatan militer jika tidak terpaksa.
Strategi Ambigu Trump yang Tidak Bersikap, Buat Beijing Waspada
Mengenai argumen The Economist yang mengkhawatirkan pemerintahan Trump mungkin akan secara substansial meninggalkan Taiwan, karena kekhawatiran konflik dengan Tiongkok, Tang Shao-cheng memiliki keraguan.
Dia menekankan bahwa sampai saat ini, meskipun Donald Trump tidak seperti Joe Biden yang telah beberapa kali menyatakan akan melindungi Taiwan, dan bahkan belum pernah membuat pernyataan resmi tentang hal ini, tetapi justru sikap tidak menyatakan posisi ini masih membuat Beijing waspada.
Dalam situasi seperti ini, melihat hubungan antara AS, Tiongkok, dengan Taiwan, Tang Shao-cheng berpendapat bahwa belum sampai pada tahap di mana Xi Jin-ping perlu mengambil tindakan segera terhadap Taiwan.
By Yunus Hendry, Rti(Taiwan, ROC) --- Edisi terbaru The Economist mengangkat topik Krisis Kekuatan Mengenai Taiwan Akan Segera Tiba sebagai artikel sampul untuk melakukan analisis, menekankan bahwa proteksionisme dan sikap keras Donald Trump yang seharusnya membuat Amerika menjadi lebih hebat, justru malah melemahkan kemampuan AS untuk melindungi Taiwan.
Hal ini dikhawatirkan akan memberi Xi Jin-ping (習近平) pemikiran baru, menganggap harus segera mengambil tindakan militer terhadap Taiwan sebelum kehilangan momentum yang baik.
Namun, para akademisi bersikap hati-hati terhadap hal ini, menekankan bahwa Tiongkok telah lama menganggap Taiwan sebagai milik yang sudah di dalam kantong, sehingga selama bisa tidak menggunakan kekuatan militer mereka tidak akan mengambil tindakan langsung.
Menyerang Taiwan sekarang justru akan menimbulkan masalah tambahan dan membuat mereka menjadi target kritik seluruh dunia.
Kebijakan Tarif Tinggi Membuat The Economist Meragukan Tekad AS untuk Melindungi Taiwan
Analisis The Economist ini menunjukkan bahwa pertarungan tarif AS dengan Tiongkok telah berubah menjadi pertandingan ketahanan, dengan Beijing yang yakin bahwa mereka memiliki kemampuan untuk bertahan hingga akhir.
Donald Trump yang menekankan America First, pada saat yang sama juga menerapkan proteksionisme perdagangan terhadap sekutunya, termasuk mengenakan tarif 32% pada Taiwan dan meminta TSMC memindahkan kapasitas produksi chip ke AS, yang mana semakin melemahkan basis aliansi AS di Asia Pasifik, dan juga membuat tekad AS dalam masalah Taiwan semakin dipertanyakan.
Proteksionisme AS Melemahkan Kemampuan Melindungi Taiwan, Memperkuat Pemikiran Xi Jin-ping untuk Menyerang Taiwan
Artikel tersebut juga menekankan bahwa di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, daya gentar AS sedang melemah, yang membuat strategi Washington untuk mempertahankan perdamaian melalui kekuatan justru menghasilkan efek yang berlawanan.
Khususnya, proteksionisme dan sikap keras Donald Trump yang seharusnya membuat AS menjadi lebih hebat, malah melemahkan kemampuan AS untuk melindungi Taiwan, dan Beijing pasti memperhatikan hal ini.
Beberapa waktu lalu, Xi Jin-ping mungkin masih berpikir bahwa merebut Taiwan harus menunggu, tetapi seiring berjalannya waktu, Xi Jin-ping mungkin akan memiliki pemikiran baru, menganggap bahwa dia harus segera mengambil tindakan supaya tidak kehilangan momentum yang baik.
Terdampak Perang Tarif, Akademisi: AS Tidak Akan Kehilangan Kemampuan Intervensi Keamanan Asia Timur
Namun, para akademisi memilih untuk bersikap hati-hati terhadap masalah ini. Tang Shao-cheng (湯紹成), seorang peneliti di Pusat Hubungan Internasional Universitas Nasional Chengchi berpendapat bahwa artikel ini berfungsi sebagai peringatan. Dan meskipun AS terkena dampak dari perang tariff dan kekacauan internal, tetapi mereka belum kehilangan sepenuhnya kemampuan untuk melakukan intervensi di Asia Timur. Oleh karena itu Tang Shao-cheng merasa bahwa kemungkinan tersebut kian kecil.
Tang Shao-cheng mengatakan, "Apakah benar AS saat ini telah sepenuhnya kehilangan kemampuan intervensi mereka secara internasional atau di Asia Timur? Saya rasa ini adalah pertanyaan besar. Meskipun ini mungkin masalah internal AS, atau perselisihan dengan negara lain akan memiliki dampak, tetapi saya rasa belum sampai pada titik di mana mereka sama sekali tidak peduli dengan masalah keamanan di Asia Timur."
Menyerang Taiwan atau Tidak? Tergantung Dampak Tarif pada Ekonomi Internal Tiongkok
Selain itu, salah seorang profesor di Institut Studi Asia Pasifik Universitas Nanhua, Sun Kuo-hsiang (孫國祥), menganalisis bahwa strategi besar Donald Trump awalnya adalah jika Tiongkok menyerang Taiwan, maka AS akan mengenakan tariff tinggi pada Tiongkok, membuat Tiongkok tidak berani bertindak gegabah terhadap Taiwan karena khawatir tentang perkembangan domestik ekonomi mereka.
Namun, sekarang AS telah mengambil tindakan keras dengan membuka kartu mereka, mengenakan tarif tinggi 145% pada Tiongkok, sehingga sekarang perlu mengamati kondisi perkembangan ekonomi internal Tiongkok sebelum membuat kesimpulan akhir.
Dia mengatakan, "Kita harus mengambil waktu untuk melihat, jika daya beli mereka tidak bisa meningkat, perkembangan ekonomi internal tidak baik, GDP tidak bisa mempertahankan 5%, tingkat pengangguran terlalu tinggi, bagaimana hal ini akan mempengaruhi pembangunan kekuatan militer Tiongkok dan proyeksi kekuatan mereka di seluruh dunia dalam jangka waktu tertentu, baru kita bisa menilai apakah hasil akhir artikel The Economist ini benar seperti yang mereka katakan. Jika tidak, dengan asumsi Tiongkok benar-benar tidak terpengaruh oleh hal-hal ini, maka yang saya lihat saat ini adalah apa yang mereka katakan benar, tren ini memang secara bertahap terjadi."
Jika Tiongkok Bisa Bertahan dari Pukulan Tarif AS, Tidak Perlu Menambah Masalah dan Memperburuk Situasi
Namun, Sun Kuo-hsiang berpendapat, jika Tiongkok benar-benar bisa bertahan dari pukulan tarif Donald Trump, mereka bisa menggantikan kebangkitan AS di panggung internasional, maka Taiwan secara alami akan menjadi milik Tiongkok, jadi mengapa harus menyerang Taiwan sekarang dan menambah masalah, malah membuat diri mereka menjadi target kritik dan menjadi objek kecaman seluruh dunia.
Sun Kuo-hsiang mengatakan, Tiongkok sekarang hanya peduli Taiwan bahwa tidak boleh melakukan kemerdekaan de jure secara langsung, dengan kata lain, mereka sebenarnya sedang menunggu perubahan tren secara keseluruhan, karena itu mereka tidak akan menggunakan kekuatan militer jika tidak terpaksa.
Strategi Ambigu Trump yang Tidak Bersikap, Buat Beijing Waspada
Mengenai argumen The Economist yang mengkhawatirkan pemerintahan Trump mungkin akan secara substansial meninggalkan Taiwan, karena kekhawatiran konflik dengan Tiongkok, Tang Shao-cheng memiliki keraguan.
Dia menekankan bahwa sampai saat ini, meskipun Donald Trump tidak seperti Joe Biden yang telah beberapa kali menyatakan akan melindungi Taiwan, dan bahkan belum pernah membuat pernyataan resmi tentang hal ini, tetapi justru sikap tidak menyatakan posisi ini masih membuat Beijing waspada.
Dalam situasi seperti ini, melihat hubungan antara AS, Tiongkok, dengan Taiwan, Tang Shao-cheng berpendapat bahwa belum sampai pada tahap di mana Xi Jin-ping perlu mengambil tindakan segera terhadap Taiwan.