Kita harus memberi diri kita untuk diperdamaikan dengan Allah. Hal itu harus kita mengerti bukan hanya secara sistematis teologis. Ketika orang berbicara mengenai keselamatan, lalu membuat rumusan dan format teologi bahwa “Yesus mati menggantikan kita, membenarkan kita,” maka kita merasa sudah dibenarkan dan sudah diperdamaikan. Secara de jure, adalah benar bahwa kita telah diperdamaikan karena Yesus mati di kayu salib, membuka akses kita datang kepada Bapa. Tetapi secara de facto, belum tentu. Tubuh kita bisa ada di gereja, tetapi kalau dalam menjalani hari-hari kita masih terikat dengan keindahan dunia, maka kita bukan anak-anak Allah yang ideal. Kita mungkin tidak berzina, tidak mencuri, tidak membunuh, tetapi hati kita tidak melekat sepenuhnya kepada Allah, maka berarti kita belum diperdamaikan dengan Allah.
Di dalam 1 Korintus 6:19-20 jelas dikatakan, “Kamu telah dibeli dengan harga yang lunas dibayar.” Maka, kita bukan milik diri kita sendiri. Di 1 Korintus 6:7 dikatakan, “Barangsiapa mengikatkan diri dengan Allah, menjadi satu roh dengan Dia.” Luar biasa, bagaimana Allah membuka tangan untuk bisa satu roh dengan kita. Dan dalam Yohanes 17:20-21, “Engkau dalam Aku, ya Bapa, Aku dalam Engkau, dan mereka dalam Kita.” Luar biasa! Lalu setan mengelus-elus dan berkata kepada orang Kristen, “Ya, sekarang kamu sudah menjadi anak-anak Allah. Kamu sudah ke gereja. Kamu sudah memuji-muji Tuhan, Tuhan berkenan atas puji-pujian kamu. Maka kamu harus yakin masuk surga.”
Alhasil, banyak orang Kristen setuju dengan keyakinan itu, bahwa dia pasti masuk surga. Mestinya keyakinan itu dibangun dari pengalaman hidup, perjalanan hidup bersama dengan Tuhan, bukan dibangun dari pengertian-pengertian teologi. Kalau di perusahaan kita masih mencuri uang perusahaan, yakin masuk surga? Kalau masih ada cela dan noda dalam diri kita, yakin masuk surga? Makanya kita belajar tidak ada dosa sekecil apa pun, sehalus apa pun. Tidak ada dosa di dalam diri kita yang membuat Tuhan bukan saja terluka, tidak nyaman pun jangan. Bukan harus dosa-dosa besar, namun hal-hal kecil, hal sederhana kalau itu membuat Tuhan tidak nyaman, kita tidak lakukan.
Kebersamaan yang Tuhan kehendaki standarnya adalah kebersamaan Yesus dengan Bapa. Kebersamaan dengan Tuhan adalah kebersamaan yang tidak boleh berhenti. Jadi, tidak ada wilayah blank spot, harus tersambung terus dengan Tuhan. Kita stimulasi, kita rangsang lewat doa. Lalu kita bawa suasana itu keluar dari ruang doa, sementara kita melakukan berbagai pekerjaan. Kita bisa selalu ada di hadirat Tuhan, karena memang Roh Kudus dimeteraikan di dalam diri kita, dan Tuhan berjanji menyertai kita. Kita harus belajar dan berjuang untuk menghidupkan Tuhan di dalam hidup kita.
Ini bukan berarti Tuhan sudah mati. Allah hidup, dari kekal sampai kekal, tidak berubah. Tetapi bagaimana kita bisa menyatakan kehidupan Tuhan di dalam hidup kita, bagaimana kita mengalami perjumpaan dengan Tuhan dan kebersamaan dengan Tuhan setiap saat. Ketika Paulus mengatakan, “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan,” secara implisit ada pesan di situ bahwa ia sudah selesai dengan dirinya sendiri. Jadi, kalau kita serius akan hal ini, kita pasti tidak akan menyentuh dosa. Kalau kita berdosa sekecil apa pun kesalahan itu, kita akui, kita bereskan. Kita tidak terikat dengan kesenangan-kesenangan dunia.
Kita akan bisa menikmati kehadiran Tuhan dalam segala keadaan. Luar biasa, Dia menyertai kita. Sebagaimana dua orang yang bercinta, masing-masing mau dinikmati dan menikmati, demikian pula kita dengan Tuhan. Benar, Dia ingin kita nikmati dan Dia mau menikmati kita. Firman Tuhan juga mengatakan bahwa kita adalah mempelai Kristus. Dan ketika Paulus menjelaskan mengenai hubungan suami istri, “Maka laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya,” lalu kalimat berikutnya, “Rahasia ini besar, tetapi yang kumaksud adalah hubungan jemaat dengan Kristus.”