Tidak semua orang menjadi umat pilihan. Kalau mereka hidup di zaman sebelum Yesus datang, maka mereka tidak pernah mendengar Injil atau orang yang hidup setelah zaman Yesus datang ke dunia tetapi mereka hidup di wilayah di mana Injil tidak diberitakan, mereka juga tidak pernah mendengar Injil. Atau hidup di wilayah di mana Injil diberitakan salah. Jadi mereka tidak pernah mengenal Yesus dengan benar. Sebagai orang yang dipilih, kita dikehendaki menjadi perawan suci. Maka kita tidak bisa menyamakan diri dengan orang lain, apalagi dengan mereka yang bukan umat pilihan, sebab mereka bukan orang yang dipanggil menjadi perawan suci. Perawan suci artinya, orang yang tidak ternoda oleh dunia.
Untuk menjadi orang yang tidak ternoda, kita harus memiliki sifat-sifat atau karakter Allah. Kalau agama pada umumnya mengajarkan umatnya melakukan hukum, nuraninya ditulisi hukum dan mereka bisa menaati hukum dengan konsekuen dan konsisten. Sedangkan orang percaya, bukanlah orang-orang yang hidup di bawah hukum tetapi di bawah kebenaran, sehingga dapat memiliki sifat-sifat atau karakter Tuhan. Hal ini berat sekali. Orang yang hidup di bawah hukum, mereka hanya taat dalam batas-batas tertentu. Artinya, sejauh yang dipahami orang itu mengenai hukum, tatanan atau syariat. Bagi orang percaya yang bertumbuh dengan benar, pasti memiliki sifat-sifat karakter Tuhan, tidak bisa berbuat salah dan tingkat ketaatannya kepada Tuhan adalah tingkat maksimal. Artinya, bukan hanya tidak melanggar hukum, tetapi mengerti apa yang Tuhan kehendaki di dalam hidupnya.
Untuk menjadi satu frekuensi dengan Tuhan, memerlukan kesungguhan dan melewati perjalanan waktu. Tidak bisa cepat. Kesalahan banyak orang yaitu menganggap hal ini mudah. Mencari Tuhan itu lebih mudah dari mencari uang. Mencari Tuhan bukan hanya pergi ke gereja, mengikuti kebaktian, lalu otomatis mengenal Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Mengenal Tuhan berarti mengenal pribadi-Nya. Kalau kita mengatakan menerima Tuhan, berarti kita menerima sifat-sifat-Nya, karakter-Nya. Jadi, kalau Yohanes 1:12 mengatakan, “Tetapi semua orang yang menerima-Nya …” ini bukan menerima dalam arti pengakuan saja, melainkan menerima sifat-sifat Allah, “… diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah.”
Gelar sebagai anak-anak Allah itu bukan sekadar status, melainkan keberadaan. Di antara kesungguhan itu adalah rela melepaskan diri dari keterikatan dengan dunia. Kita semua diperanakkan dari darah dan daging, kita mewarisi sifat-sifat orangtua, dan menyerap cara berpikir, gaya hidup yang juga sifat-sifat dari dunia sekitar kita. Sejujurnya, rata-rata kita masih terikat dunia, masih mau hidup wajar. Salah satu cirinya adalah merasa tidak lengkap atau tidak utuh kalau belum memiliki sesuatu. Sebaliknya, orang yang tidak terikat dengan dunia, ia sudah merasa lengkap atau utuh sekalipun ia tidak memiliki apa pun. Tuhan pasti akan mengisi hati orang ini dengan kehadiran-Nya. Dikatakan di ayat berikutnya, “orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, …” Kita diperanakkan oleh Allah bukan dalam 1 hari, 1 minggu, 1 bulan atau 1 tahun, melainkan lewat proses perjalanan waktu, di mana kita menyerap sifat-sifat Allah, hari demi hari dan menanggalkan sifat-sifat manusiawi kita.
Kita tahu sifat-sifat kita yang berangasan, temperamen, mata duitan, sombong dan lainnya. Kita tahu, tidak mungkin tidak tahu, itulah yang namanya menyangkal diri. Nanti di hadapan Tuhan, kita tidak bisa berkata, “Saya tidak tahu Tuhan kalau saya salah,” tidak mungkin. Tuhan pasti berbicara. Masalahnya, kalau Tuhan sudah bicara sekali, 2 atau 3 kali bahkan berkali-kali, namun kita tidak meresponinya sampai akhirnya kita memadamkan Roh. Kalau sudah memadamkan Roh, meningkat sampai menghujat Roh, sehingga nurani seseorang menjadi buta.
Tetapi Iblis, dalam kelicikannya membuat seseorang tidak menjadi biadab atau tidak membuat seorang menjadi jahat di mata manusia. Melainkan menjadi baik, santun,