Sebagai orang beragama, kita sudah sering mendengar dan juga mengucapkan kalimat “percaya kepada Tuhan” atau “beriman kepada Tuhan.” Sejatinya, apa dan bagaimana sebenarnya percaya atau beriman kepada Tuhan itu? Di lingkungan orang-orang yang tidak menghargai nilai-nilai agama, tidak mudah mengucapkan kalimat “percaya” atau “beriman kepada Tuhan,” terutama mereka yang hidup di masyarakat yang pengaruh agamanya sangat tipis, lalu masyarakatnya berpikir bebas. Mereka lebih senang mengaku sebagai free thinker, seperti di negara-negara Barat. Tetapi kalau di masyarakat yang menjunjung tinggi hal keberagamaan seperti di Indonesia, dikesankan dan memang dianggap bahwa percaya atau beriman kepada Tuhan itu mudah.
Sebenarnya percaya atau beriman kepada Tuhan yang benar, itu bukan sesuatu yang sederhana. Ini tidak berlebihan. Keyakinan biasanya bertalian dengan persetujuan pikiran. Ketika pikiran setuju kepada sesuatu, sesuatu itu diyakini; diyakini benar. Atau kata lain, “pengaminan akali.” “Amin” artinya “ya, benar.” Sedangkan percaya atau beriman adalah perbuatan, seluruh cara berpikir dan gaya hidup, sehingga tidak ada bagian dalam hidup kita yang kita lakukan di luar iman.
Ibrani 11:6, “tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia.” Jikalau kita membaca ayat-ayat berikutnya, ternyata iman itu tindakan, seperti tindakan Abraham yang meninggalkan Ur-Kasdim dan menyerahkan dirinya kepada satu janji yang Elohim Yahweh katakan akan membawanya ke negeri yang Yahweh akan tunjukkan kemudian. Di dalam Roma 14:23 dikatakan, “Tetapi barangsiapa yang bimbang, kalau ia makan, ia telah dihukum, karena ia tidak melakukannya berdasarkan iman. Dan segala sesuatu yang tidak berdasarkan iman, adalah dosa.” Kalimat ini jarang diangkat ke permukaan. Ini terkait dengan 1 Korintus 10:31, “baik kamu makan atau minum atau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semua itu untuk kemuliaan Allah.”
Jadi, tindakan iman adalah tindakan untuk kemuliaan Allah. Dalam konteks umat Perjanjian Baru, apa pun yang kita lakukan, baik yang kita pikirkan, ucapkan, dan yang kita perbuat, jika bukan untuk kemuliaan Allah, dosa. Berarti, bukan tindakan iman. Kalau kita sudah ke gereja, menyanyikan lagu-lagu penyembahan, kita dulu merasa sudah menyembah Tuhan. Tapi seiring berjalannya waktu, ketika Tuhan mencerahi pikiran kita, kita lebih memahami kebenaran, baru kita sadar betapa miskinnya iman kita, betapa rendahnya kualitas iman kita. Tetapi kita bersyukur karena Tuhan masih memberi kesempatan kita menyadari kesalahan kita dan kita bertobat. Maka untuk memahami pengertian “percaya atau beriman kepada Tuhan,” kita harus mengerti beberapa aspek atau bisa dikatakan “dimensi” dalam percaya atau beriman kepada Tuhan itu.
Pertama, percaya itu terkait dengan pengakuan terhadap keberadaan Allah atau terkait dengan eksistensi Tuhan. Percaya bahwa Allah itu ada. Yang kedua, percaya terkait dengan pengenalan dan penerimaan terhadap pribadi-Nya. Seseorang bisa percaya Allah itu ada, tetapi apakah seseorang mengenal pribadi-Nya dan menerima keberadaan pribadi-Nya itu? Mengenal siapa dan bagaimana Allah, yaitu hakikat, sifat, dan karakter-karakter-Nya. Lalu bagaimana orang percaya atau orang beriman itu seharusnya bersikap terhadap Allah, atau bagaimana menempatkan diri dengan benar di hadapan Allah dan menempatkan Allah di tempat yang patut atau pantas?
Setelah mengenal, lalu penerimaan terhadap pribadi-Nya. Kita kenal seseorang, tahu dia ada, tapi apakah kita mengenal pribadi orang itu dan menerima keberadaannya? Itu berarti kita harus menempatkan diri kita dengan benar bagi dia, dan kita menempatkan dia dengan benar pula, sebagaimana seharusnya kita menempatkan orang itu. Ini kalau berbicara tentang pribadi manusia. Kalau Allah, lebih kompleks lagi, karena Allah itu tidak kelihatan.