Ketika kita tidak tidak sungguh-sungguh merindukan Tuhan, berarti kita tidak layak menjadi mempelai Tuhan. Sebab, kalau kita benar-benar menjadi mempelai Tuhan Yesus, kita akan sungguh-sungguh merindukan Dia. Kita harus jujur memeriksa diri kita; apakah kita sungguh-sungguh merindukan Tuhan, atau tidak? Kalau kita tidak merindukan Tuhan, berarti hati kita belum bulat, belum utuh untuk Tuhan. Ada bagian dalam hidup kita yang sebenarnya kita berikan untuk yang lain. Rasanya, setiap kita memiliki pengalaman hidup seperti ini; kita tidak sungguh-sungguh merindukan Tuhan. Walaupun kita berkata bahwa kita merindukan Tuhan, padahal hati kita tidak merindukan Tuhan sepenuhnya. Belum tentu ada 50%; jangan-jangan hanya 10%, jangan-jangan hanya 15%. Karena ruangan hati ini kita isi dengan yang lain; ada keinginan-keinginan, ada hasrat-hasrat untuk yang lain, dan biasanya hidup kita tidak benar-benar bersih. Memang kita tidak melakukan pelanggaran moral—seperti mencuri, membunuh, berzina dalam ukuran/standar umum—tetapi kita tidak benar-benar memiliki hati yang bersih, hati yang tulus, hati yang mengasihi Allah, mengasihi orang lain dengan setulus-tulusnya. Kita diam-diam masih senang dipuji, dianggap penting, puas bisa membalas dendam; walaupun dalam bentuk-bentuk kecil yang kadang-kadang juga tidak kelihatan di mata manusia.
Kalau kita mau benar-benar bisa merindukan Tuhan dan sekaligus menjadi anak kesukaan Tuhan, kita harus berani berkomitmen untuk hidup suci, untuk hidup tidak bercacat, tidak bercela. Jadi, kita harus berani nekat. Ibarat kita disuruh melompat tembok setinggi 2meter, padahal kita hanya bisa melompat setinggi 40cm atau 50cm atau paling tinggi 1meter. 2meter kita harus melompat, kita lompati. Kita berkata kepada Tuhan, “Tuhan, jangankan 2 meter; kalau ini 3meter pun, saya akan melompat.” Tuhan tahu kita tidak bisa, Tuhan tahu kita tidak mampu. Tetapi ketika kita bersedia, maka di sini Tuhan akan menolong kita. Asalkan kita tidak memberi ruangan lagi untuk kesenangan-kesenangan apa pun. Namun ironis, banyak orang yang tidak bersedia. Karena mereka menganggap ini adalah hal yang tidak waras, ini berlebihan, ini kesombongan. Sejujurnya, kalau tidak begini kita mau apa? Hidup ini singkat, kita bisa meninggal dunia setiap saat. Kalau pun tidak meninggal dunia, kita mau menyenangkan Tuhan selama kita hidup di bumi; tidak menunggu nanti meninggal di surga baru mau menyenangkan Tuhan. Justru di bumi ketika kita mendapat begitu banyak godaan untuk berbuat salah—dari pengaruh dunia sekitar kita, dari dorongan nafsu di daging kita, dari dorongan/ambisi di dalam jiwa kita—tetapi kita memilih untuk melakukan apa yang Allah kehendaki, apa yang Allah ingini.
Kita harus bertekad, berjanji, dan bernazar kepada Tuhan. Tekad, janji, dan nazar tersebut menjadi seperti pagar yang memagari kita menyimpang. Jadi, ketika ada impuls atau rangsang dosa, kita bisa mengingat janji/nazar kita kepada Tuhan, “Aku sudah berjanji.” Pada waktu kita disakiti orang, kita mau membalas, kita ingat “aku sudah berjanji tidak membalas kejahatan dengan kejahatan.” Ketika orang mendebat kita dan kita tahu kalau dilanjutkan bisa jadi berantem, maka kita memilih diam, “aku sudah berjanji untuk diam.” Ini akan lebih memberi kekuatan kepada kita untuk tidak banyak bicara, untuk tidak melakukan kesalahan. Apalagi kesalahan-kesalahan lain yang lebih besar, kita bisa lebih menahan. Sehingga, jika proses itu berlangsung terus-menerus, kebiasaan itu akan menjadi karakter kita. Pada akhirnya, kita tidak perlu menahan diri karena sudah otomatis kita bisa menjadi (being) sesuai dengan apa yang Allah kehendaki.
Maka, tidak heran kalau kita yang diproses untuk menjadi seperti Yesus akan pasti menghadapi banyak hal yang tidak kita sukai; hal-hal yang tidak menyenangkan. Tetapi, di situlah letak berkat Tuhan dimana Tuhan mau membereskan keadaan diri kita. Kalau kita mata duitan,