
Sign up to save your podcasts
Or
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, baru-baru ini mengungkapkan kebijakan baru di sektor pendidikan yang memicu beragam opini. Mulai Juni 2025, seluruh siswa di provinsi tersebut tidak akan lagi diberikan pekerjaan rumah (PR).
Kebijakan ini dimaksudkan untuk meringankan tekanan akademis yang biasa dibawa pulang oleh pelajar sekaligus memberi ruang lebih bagi mereka untuk bersantai, bermain, dan membangun hubungan sosial serta kedekatan keluarga. Dedi Mulyadi menekankan bahwa proses belajar-mengajar seharusnya diselesaikan sepenuhnya di sekolah, sementara rumah idealnya menjadi tempat yang nyaman untuk perkembangan emosional dan interaksi sosial anak-anak.
Lantas, apakah kebijakan penghapusan PR ini sudah tepat?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berdiskusi dengan Ulfah Alifia (Uli), senior researcher dari SMERU Reserarch Institute mengenai kebijakan ini.
Uli berpendapat keputusan ini patut dipertanyakan. Meskipun mengurangi beban belajar siswa bukanlah hal buruk, tapi ia mempertanyakan alasan kebijakan ini: apakah sudah berbasis riset yang tepat atau hanya sekadar meniru negara-negara maju tanpa memperhatikan faktor penunjang pendidikan yang lain.
Secara historis, menurut Uli, PR dipandang sebagai sarana untuk memperdalam pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran dan mendorong kemandirian belajar. Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa PR sering kali tidak dirancang dengan strategi pedagogis yang jelas bahkan cenderung menjadi pengulangan tugas tanpa makna sehingga hanya menambah beban siswa.
Uli juga berpendapat bahwa PR ini seharusnya menjadi bahan evaluasi guru untuk menilai proses pembelajaran di kelas. Menurutnya, dengan pemberian PR, seorang guru bisa menilai apakah proses pembelajaran yang dilakukan sudah menjamin seluruh peserta didik memahami materi pembelajaran atau belum.
Idealnya, menurut Uli, PR seharusnya menjadi bahan evaluasi guru mengenai proses pembelajaran yang sudah berjalan dan bukan menjadi tolok ukur pemahaman siswa tentang pembelajaran yang sudah berlangsung.
Uli khawatir, PR tidak lagi menjadi alat pembelajaran yang efektif melainkan hanya formalitas administratif. Sebab, ia melihat bagaimana PR seringkali dijadikan patokan pemahaman siswa dalam sebuah proses pembelajaran.
Jika memang kebijakan penghapusan PR ini diberlakukan, Uli menilai kebijakan ini harus dibarengi dengan reformasi struktural yang memperkuat kapasitas dan profesionalisme guru. Menurutnya, aspek seperti infrastruktur pendidikan, kurikulum, dan kualitas guru menjadi faktor yang juga harus dipikirkan.
Uli juga beranggapan bahwa pemerintah memiliki tugas lain yang sebenarnya lebih mendesak untuk diselesaikan, yaitu bagaimana kurikulum saat ini bisa menimbulkan minat belajar siswa lebih tinggi dari biasanya. Ia menekankan pentingnya penciptaan metode pengajaran yang lebih menarik dan bermakna, yang dapat merangsang rasa ingin tahu sekaligus mengembangkan keterampilan berpikir kritis.
Sebagai penutup, Uli menyatakan bahwa kebijakan menghapus PR ini hanya akan berujung pada pengurangan beban dan tidak akan menumbuhkan minat belajar apabila tidak dibarengi dengan perbaikan di sektor lain. Artinya, penghapusan PR tidak akan serta-merta mendongkrak kualitas pendidikan.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, baru-baru ini mengungkapkan kebijakan baru di sektor pendidikan yang memicu beragam opini. Mulai Juni 2025, seluruh siswa di provinsi tersebut tidak akan lagi diberikan pekerjaan rumah (PR).
Kebijakan ini dimaksudkan untuk meringankan tekanan akademis yang biasa dibawa pulang oleh pelajar sekaligus memberi ruang lebih bagi mereka untuk bersantai, bermain, dan membangun hubungan sosial serta kedekatan keluarga. Dedi Mulyadi menekankan bahwa proses belajar-mengajar seharusnya diselesaikan sepenuhnya di sekolah, sementara rumah idealnya menjadi tempat yang nyaman untuk perkembangan emosional dan interaksi sosial anak-anak.
Lantas, apakah kebijakan penghapusan PR ini sudah tepat?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berdiskusi dengan Ulfah Alifia (Uli), senior researcher dari SMERU Reserarch Institute mengenai kebijakan ini.
Uli berpendapat keputusan ini patut dipertanyakan. Meskipun mengurangi beban belajar siswa bukanlah hal buruk, tapi ia mempertanyakan alasan kebijakan ini: apakah sudah berbasis riset yang tepat atau hanya sekadar meniru negara-negara maju tanpa memperhatikan faktor penunjang pendidikan yang lain.
Secara historis, menurut Uli, PR dipandang sebagai sarana untuk memperdalam pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran dan mendorong kemandirian belajar. Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa PR sering kali tidak dirancang dengan strategi pedagogis yang jelas bahkan cenderung menjadi pengulangan tugas tanpa makna sehingga hanya menambah beban siswa.
Uli juga berpendapat bahwa PR ini seharusnya menjadi bahan evaluasi guru untuk menilai proses pembelajaran di kelas. Menurutnya, dengan pemberian PR, seorang guru bisa menilai apakah proses pembelajaran yang dilakukan sudah menjamin seluruh peserta didik memahami materi pembelajaran atau belum.
Idealnya, menurut Uli, PR seharusnya menjadi bahan evaluasi guru mengenai proses pembelajaran yang sudah berjalan dan bukan menjadi tolok ukur pemahaman siswa tentang pembelajaran yang sudah berlangsung.
Uli khawatir, PR tidak lagi menjadi alat pembelajaran yang efektif melainkan hanya formalitas administratif. Sebab, ia melihat bagaimana PR seringkali dijadikan patokan pemahaman siswa dalam sebuah proses pembelajaran.
Jika memang kebijakan penghapusan PR ini diberlakukan, Uli menilai kebijakan ini harus dibarengi dengan reformasi struktural yang memperkuat kapasitas dan profesionalisme guru. Menurutnya, aspek seperti infrastruktur pendidikan, kurikulum, dan kualitas guru menjadi faktor yang juga harus dipikirkan.
Uli juga beranggapan bahwa pemerintah memiliki tugas lain yang sebenarnya lebih mendesak untuk diselesaikan, yaitu bagaimana kurikulum saat ini bisa menimbulkan minat belajar siswa lebih tinggi dari biasanya. Ia menekankan pentingnya penciptaan metode pengajaran yang lebih menarik dan bermakna, yang dapat merangsang rasa ingin tahu sekaligus mengembangkan keterampilan berpikir kritis.
Sebagai penutup, Uli menyatakan bahwa kebijakan menghapus PR ini hanya akan berujung pada pengurangan beban dan tidak akan menumbuhkan minat belajar apabila tidak dibarengi dengan perbaikan di sektor lain. Artinya, penghapusan PR tidak akan serta-merta mendongkrak kualitas pendidikan.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
14 Listeners
40 Listeners
2 Listeners
8 Listeners
1 Listeners
0 Listeners
4 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
13 Listeners
61 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
5 Listeners
49 Listeners
3 Listeners