Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) merupakan tradisi tahunan yang diinisiasi oleh industri e-commerce melalui Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA) sejak tahun 2012 silam. Tanggal cantik 12 Desember dipilih menjadi puncak momen pesta belanja online nasional dengan banjir promo dan penawaran menarik dari berbagai platform belanja daring.
Pada awalnya, hanya para market place saja yang memeriahkan acara tahunan ini sebagai ajang kampanye untuk meningkatkan minat masyarakat melakukan belanja online. Tapi lambat laun, para entitas bisnis yang sudah mengembangkan platform e-commercenya sendiri, ‘haram’ hukumnya jika tak berpartisipasi dalam pesta belanja ini.
Tujuan kampanye dari Harbolnas pun terbilang sesuai dengan yang diproyeksikan. Hal ini terlihat dari omzet transaksi dari penyelenggaraan Harbolnas yang semula hanya Rp67,5 miliar (2012) melonjak menjadi Rp25,7 triliun (2023).
Tahun ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, optimis bahwa perayaan Harbolnas mampu mencapai target penjualan hingga Rp40 triliun. Harbolnas tahun ini diharapkan akan mendongkrak daya beli konsumen serta memberikan kontribusi signifikan pada pertumbuhan ekonomi nasional di kuartal keempat.
Lantas, mungkinkah perayaan Harbolnas tahun 2024 bisa menjadi momentum rebound perekonomian Indonesia yang beberapa bulan terakhir sedikit lesu? Atau sebenarnya perayaan Harbolnas ini justru hanya sekedar angka besar semata yang justru membuat masyarakat terjebak dalam perilaku konsumtif yang berlebihan?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini bersama Imam Salehudin, akademisi dan ekonom dari Universitas Indonesia.
Imam mengatakan target transaksi sebesar 40 triliun dalam Harbolnas kali ini terkesan cukup ambisius. Berkaca dari capaian total transaksi pada tahun 2022 dan 2023 yang mencapai Rp22,7 Triliun dan Rp25 Triliun, menurutnya pemerintah bisa membuat target yang lebih realistis mengingat daya beli masyarakat sedang tidak stabil.
Imam menyarankan kepada pemerintah untuk fokus pada pemulihan daya beli daripada mendorong konsumsi berlebihan. Meskipun peningkatan konsumsi memang dapat memberikan stimulus positif bagi pertumbuhan ekonomi jangka pendek, namun, perlu diingat bahwa pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan tidak hanya bergantung pada sisi permintaan, melainkan juga pada kualitas sisi produksi baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Imam juga menyoroti bahaya perilaku konsumtif secara berlebihan dalam momen Harbolnas kali ini. Ia melihat bagaimana situasi daya beli masyarakat yang sedang menurun, budaya konsumerisme yang kian populer, dan ketimpangan sosial dalam peringatan Harbolnas ini akan membahayakan masyarakat.
Ia menambahkan, konsumen mungkin terjebak dalam siklus utang untuk membiayai pembelian yang tidak mendesak, sehingga berpotensi menimbulkan masalah keuangan jangka panjang. Situasi ini nantinya akan membahayakan untuk perekonomian negara dalam jangka panjang.
Imam menyarankan agar pemerintah mengadopsi pendekatan yang lebih menyeluruh untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Ia menekankan bahwa upaya pemerintah tidak cukup hanya berfokus pada sisi permintaan melalui kegiatan seperti Harbolnas, tetapi juga harus memperhatikan sisi penawaran.
Dengan meningkatkan daya saing produk lokal, mendorong masuknya investasi, dan memperbaiki infrastruktur, pemerintah dapat menciptakan iklim bisnis yang kondusif, yang pada akhirnya menarik lebih banyak investasi dan membuka peluang kerja baru.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.