Share SuarAkademia
Share to email
Share to Facebook
Share to X
By The Conversation
The podcast currently has 184 episodes available.
Perbincangan mengenai penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang tidak diwajibkan kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studi mereka kembali menghangat sejak awal bulan November kemarin. Kebijakan ini ternyata memicu kebingungan di kalangan masyarakat.
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Satryo Soemantri Brodjonegoro, memberikan penjelasan mengenai alasan di balik kebijakan tersebut. Ia menyatakan bahwa Indonesia saat ini belum mampu menjamin ketersediaan lapangan kerja yang sesuai bagi para alumni LPDP.
Sebagai alternatif, pemerintah berharap penerima beasiswa dapat memberikan kontribusi bagi Indonesia melalui karya mereka di luar negeri.
Satryo juga mengungkapkan bahwa keputusan untuk mengizinkan alumni LPDP tetap berada di luar negeri didasarkan pada kendala anggaran pemerintah dalam menyelesaikan masalah ini. Selain itu, ia menegaskan bahwa tidak ada sanksi yang akan dikenakan kepada penerima beasiswa LPDP yang memilih untuk tidak kembali ke Tanah Air.
Lantas, bagaimana kebijakan ini seharusnya diterapkan?
Untuk membahas isu ini, dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berdiskusi dengan Bagus Muljadi, akademisi dari University of Nottingham, Inggris.
Bagus menekankan pentingnya mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kebijakan ini, termasuk potensi penguatan soft power Indonesia di luar negeri, peningkatan arus investasi asing langsung (FDI), serta kontribusinya terhadap kesejahteraan masyarakat.
Bagus juga menggarisbawahi perlunya komunikasi yang jelas mengenai tujuan dan harapan pemerintah terhadap para penerima beasiswa. Bagus melihat, pemerintah masih perlu memperbaiki cara mengkomunikasikan tujuan dari kebijakan yang diambil ini. Supaya, sentimen publik yang mempertanyakan program ini dapat direspons dengan argumen yang menunjukkan proyeksi jangka panjang yang baik dari kebijakan baru tersebut.
Bagus juga menyoroti pentingnya memberdayakan bakat individu yang berada di luar negeri untuk mendukung pertumbuhan Indonesia. Ia menyarankan agar pemerintah lebih siap mendengarkan masukan dari komunitas diaspora dan memahami potensi keuntungan yang dapat mereka tawarkan.
Ia menegaskan perlunya narasi yang kuat mengenai peran Indonesia di kancah internasional. Diaspora, menurutnya, dapat berkontribusi dalam membangun narasi ini melalui penelitian dan solusi atas berbagai tantangan global.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Kemenangan Donald Trump pada Pemilihan Presiden Amerika Serikat (Pilpres AS) 2024 membawanya kembali menduduki kursi kekuasaan di Gedung Putih pasca-kekalahannya sebagai petahana pada Pilpres AS 2019. Setelah persaingan yang ketat dan penuh dinamika, Trump berhasil mengalahkan Kamala Harris dari Partai Demokrat, yang menjadi pesaing utamanya dalam pemilu kali ini.
Menurut hasil penghitungan suara, Trump memperoleh sekitar 75,1 juta suara populer, sementara Kamala mendapatkan 71,8 juta suara. Angka ini menunjukkan keunggulan Trump dalam jumlah suara populer di pemilu kali ini.
Sistem pemilihan presiden di AS memungkinkan seorang kandidat menjadi pemenang asalkan memperoleh sedikitnya 270 suara elektoral, meskipun belum tentu menang dalam total suara populer.
Dengan hasil ini, Trump berhasil meraih suara elektoral sekaligus unggul dalam jumlah suara populer, sehingga ia terpilih kembali sebagai Presiden AS pada 2024.
Meski sudah diumumkan sebagai pemenang, proses penghitungan resmi masih akan berlanjut dengan tahap penetapan suara elektoral pada 17 Desember 2024, dan hasil pemilu ini akan disahkan oleh Senat pada 25 Desember 2024.
Apakah hasil pemilihan presiden di AS ini akan memiliki dampak terhadap situasi Indonesia?
Kami membahas isu ini dalam episode SuarAkademia terbaru bersama Karina Utami Dewi, akademisi dari Universitas Islam Indonesia.
Karina menyoroti kebijakan Donald Trump pada masa presidensi pertamanya yang condong menggunakan prinsip “America First” dan terkesan kurang berminat untuk berpartisipasi dalam urusan internasional.
Ia juga menyoroti keputusan kebijakan luar negeri Trump yang kontroversial selama masa jabatan pertamanya, seperti ketika Donald Trump mengundang Taliban ke Camp David tanpa sepengetahuan pemerintah Afghanistan. Menurutnya, kebijakan yang tidak lazim ini bisa saja terjadi kembali setelah Trump dilantik dan perlu diantisipasi sejak dini.
Karina juga menyebutkan dampak potensial dari kepresidenan Trump terhadap berbagai aspek hubungan antara AS dan Indonesia, mencakup isu perdagangan, keamanan, dan diplomasi publik. Ia mengatakan adanya kemungkinan pecahnya perang dagang, yang dapat berdampak pada ekspor Indonesia ke AS, serta potensi pergeseran dalam kerjasama militer kedua negara.
Karina juga berpendapat pentingnya untuk menyadari posisi strategis Indonesia di kawasan Indo-Pasifik dan serta perlunya membangun hubungan yang seimbang dengan AS dan Cina untuk bisa mendapatkan kerja sama yang menguntungkan dari kedua negara besar tersebut.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Semakin banyak pasangan di Indonesia yang secara sadar memilih untuk tidak memiliki anak. Keputusan ini didorong oleh berbagai pertimbangan, seperti karier, gaya hidup mandiri, dan kekhawatiran terhadap masa depan.
Fenomena childfree di Indonesia mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan kajian dari Direktorat Analisis dan Pengembangan Statistik Badan Pusat Statistik (BPS), persentase perempuan yang memilih childfree di Indonesia menunjukkan tren kenaikan selama empat tahun terakhir.
Diskusi mengenai childfree ini juga ramai diperbincangkan di media sosial. Beberapa influencer mencoba memantik diskusi mengenai topik ini, bahkan secara terang-terangan menyampaikan keputusannya untuk tidak memiliki anak meski sudah menikah.
Apakah ramainya perbincangan tentang topik ini di media sosial memengaruhi keputusan anak muda untuk memilih childfree dalam pernikahan mereka?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini bersama Jordy Satria Widodo, dosen dari Universitas Pakuan, Bogor.
Jordy mengatakan, diskusi di media sosial tentang keputusan pasangan untuk memiliki anak atau tidak mempengaruhi apa yang akan diambil oleh sebagian pasangan. Menurutnya, platform media sosial mampu memicu diskusi yang mempertanyakan norma sosial tradisional sehingga memberikan kesempatan bagi generasi muda untuk memilih jalan hidup yang tidak konvensional dan mendukung kebebasan dalam menentukan pilihan yang berbeda.
Jordy juga mengatakan bahwa media sosial dapat memperkenalkan perspektif dan ide-ide baru yang bisa berdampak positif maupun negatif. Ia menekankan pentingnya diskusi yang sehat dan konstruktif di media sosial, serta bagaimana platform-platform ini dapat mendukung keberagaman suara tanpa menimbulkan stigma atau diskriminasi.
Perbincangan tentang gaya hidup childfree di media sosial sebenarnya mencerminkan perubahan besar dalam cara berpikir generasi muda saat ini. Menurut Jordy, ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media sosial dalam membentuk opini sekaligus sebagai bentuk perlawanan terhadap nilai-nilai tradisional yang sudah lama tertanam.
Jordy menambahkan, generasi muda Indonesia yang kini semakin terhubung dengan dunia luar melalui media sosial, lebih berani membahas topik-topik yang dulunya dianggap tabu, seperti keputusan untuk tidak memiliki anak. Keberanian mereka dalam mengeksplorasi ide-ide baru ini menunjukkan adanya pergeseran budaya yang penting di masyarakat kita.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Episode podcast ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Indonesia Civil Society Forum (ICSF) 2024.
Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang menjunjung tinggi kebebasan dan partisipasi masyarakat terus berevolusi seiring dengan perkembangan zaman. Era digital, dengan segala kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi, telah menghadirkan tantangan dan peluang baru bagi praktik demokrasi.
Di tengah derasnya arus informasi dan interaksi sosial yang terjadi secara daring, peran organisasi masyarakat sipil (OMS) semakin krusial dalam menjaga dan memperkuat demokrasi.
OMS yang terdiri dari berbagai kelompok masyarakat yang independen dari pemerintah memiliki peran yang sangat strategis dalam mendorong partisipasi masyarakat, mengawasi jalannya pemerintahan, serta memperjuangkan hak asasi manusia (HAM). Dalam konteks era digital, OMS memiliki potensi yang sangat besar untuk memanfaatkan teknologi sebagai alat untuk memperluas jangkauan, meningkatkan efisiensi, dan memperkuat advokasi.
Namun, di sisi lain, era digital juga menghadirkan berbagai tantangan bagi OMS. Disinformasi, polarisasi, dan serangan siber merupakan beberapa ancaman yang dapat menghambat upaya OMS dalam menjaga demokrasi. Selain itu, kesenjangan digital yang masih terjadi di berbagai wilayah juga dapat menghambat partisipasi masyarakat dalam ruang publik digital.
Untuk memperdalam pengetahuan tentang situasi ini, kami membahasnya dalam episode SuarAkademia terbaru bersama Masitoh Nur Rohma, asisten profesor dari jurusan hubungan internasional Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Masitoh menyoroti bagaimana kemajuan teknologi digital telah memungkinkan organisasi masyarakat sipil untuk menjangkau khalayak yang lebih luas melalui platform media sosial seperti X (dahulu Twitter), TikTok, dan Instagram. OMS kerap menggunakan media sosial untuk memberikan informasi kepada masyarakat dalam berbagai macam isu, salah satunya adalah penolakan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) beberapa waktu lalu.
Masitoh melihat berkembangnya era digital ini dapat mempermudah pergerakan organisasi masyarakat sipil untuk berpartisipasi dan menyuarakan pendapat mereka. Ia berpendapat dengan berkembang pesatnya teknologi saat ini akan mempermudah organisasi yang ada untuk menjangkau masyarakat yang sebelumnya tidak pernah terjangkau dengan cara yang lebih “segar”.
Namun, Masitoh menyoroti pentingnya literasi digital masyarakat yang harus diperhatikan oleh organisasi masyarakat sipil yang akan menggunakan sosial media sebagai alat untuk memperluas jangkauan. Menurutnya, OMS harus memainkan peran dalam mempromosikan literasi digital dengan cara memberikan pelatihan kepada masyarakat dan kerja sama dengan lembaga pendidikan.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Layanan pembayaran paylater atau Buy Now Pay Later (BNPL) semakin diminati oleh kalangan anak muda, terutama karena kemudahan teknologi yang memungkinkan mereka untuk membeli barang dengan menunda pembayaran. Namun, kenyamanan ini juga membawa risiko karena, tanpa disadari, banyak anak muda yang akhirnya menumpuk utang dan berpotensi terjerat dalam kemiskinan.
Friderica Widyasari Dewi, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mengungkapkan bahwa paylater kini telah menjadi budaya di kalangan generasi muda. Berdasarkan data yang dihimpun oleh OJK, mayoritas pengguna paylater berasal dari Generasi Z (Gen Z) dan milenial, dengan rentang usia antara 26 hingga 35 tahun.
Lebih rinci, sebanyak 26,5% pengguna berusia 18-25 tahun, sementara 43,9% berusia 26-35 tahun. Selain itu, 21,3 persen pengguna berusia 36-45 tahun, diikuti 7,3% pengguna berusia 46-55 tahun, dan hanya 1,1% yang berusia di atas 55 tahun.
OJK juga mencatat bahwa piutang pembiayaan melalui skema layanan paylater atau BNPL mencapai Rp7,99 triliun, mengalami peningkatan sebesar 89,2% secara tahunan.
Lalu, langkah apa yang perlu diambil oleh regulator melihat fenomena ini?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas persoalan ini dengan Rayenda Khresna Brahmana dari Coventry University, Inggris.
Rayenda mengatakan layanan paylater ini adalah masalah yang sedang dialami bukan hanya oleh Indonesia, namun juga negara-negara besar seperti Inggris, Amerika Serikat, dan lainnya. Menurut Rayenda, mudahnya mengakses layanan keuangan yang mendukung perilaku konsumtif ini menjadi faktor terpenting yang menyebabkan paylater menjadi produk layanan keuangan yang digemari oleh masyarakat.
Rayenda berpendapat bahwa memang fitur BNPL ini fungsi utamanya adalah mendukung seseorang untuk membeli sesuatu yang sifatnya konsumtif. Namun, ia menekankan kepada orang yang sudah terbiasa untuk menggunakan layanan ini untuk bisa menerapkan prinsip responsible lending alias memastikan kemampuannya membayar utang terlebih dahulu.
Ia juga mengingatkan pemerintah serta penyedia jasa layanan BNPL untuk segera membuat regulasi dalam hal penyediaan layanan dan pengawasan yang bertujuan untuk menghindarkan masyarakat dari ancaman jeratan hutang konsumtif. Menurutnya, pembuatan regulasi yang baik, pengawasan dari pemerintah, dan meningkatkan literasi keuangan masyarakat bisa mengurangi risiko tingginya tingkat hutang konsumtif masyarakat luas.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Indonesia sempat dikejutkan oleh Gerakan Cuti Bersama Hakim se-Indonesia yang berlangsung pada 7-11 Oktober 2024. Gerakan ini mencerminkan komitmen para hakim untuk memperjuangkan kesejahteraan, independensi, dan martabat lembaga peradilan di Indonesia.
Selama bertahun-tahun, kesejahteraan hakim belum menjadi fokus perhatian pemerintah, padahal mereka adalah pilar utama dalam penegakan hukum dan keadilan di negeri ini.
Ketentuan mengenai gaji dan tunjangan hakim yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tidak pernah diperbarui, meskipun inflasi terus meningkat setiap tahun. Akibatnya, nilai gaji dan tunjangan yang ditetapkan 12 tahun lalu sudah tidak sebanding dengan kondisi ekonomi saat ini.
Lantas, mengapa kesejahteraan hakim ini menjadi isu yang penting bagi mereka sehingga aksi cuti bersama kemarin diselenggarakan?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini bersama Gregorius Yoseph Laba (Yoris) dari Indonesia Judicial Research Society (IJRS).
Yoris mengatakan gerakan cuti bersama ini memiliki tujuan untuk Mengungkapkan aspirasi para hakim yang telah lama diabaikan, serta mengingatkan pemerintah bahwa tanpa jaminan kesejahteraan yang memadai, penegakan hukum akan kehilangan otoritas dan keadilan yang sejati.
Ia menambahkan Kesejahteraan hakim adalah elemen penting dalam menjamin penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Hakim harus bebas dari gangguan maupun kekhawatiran lain saat menangani suatu kasus.
Idealnya, seorang hakim memutuskan perkara dengan pikiran yang tenang dan hati nurani yang bersih, bukan dalam kondisi tertekan oleh masalah ekonomi, sosial, kesehatan, atau keamanan yang tidak memadai.
Kesejahteraan yang Yoris maksud di sini tidak hanya sekadar tentang take home pay yang diterima hakim di Indonesia setiap bulannya, di dalamnya termasuk jaminan keamanan dalam persidangan, kesehatan mental para hakim, dan beban kerja hakim yang disesuaikan secara proporsional.
Yoris menambahkan isu kesejahteraan hakim ini sudah dibahas sejak bertahun-tahun yang lalu, namun hingga saat ini belum menemui titik terang. Ia mengatakan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 dan perjuangan untuk membahas kembali RUU jabatan hakim di DPR adalah dua hal penting yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini.
Yoris juga menuturkan pentingnya political will dari pemerintah untuk segera memperhatikan masalah ini. Menurutnya, selama pemerintah tidak terlalu menganggap masalah ini sebagai isu yang serius maka isu tentang kesejahteraan hakim ini tidak akan pernah selesai.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Perekonomian Indonesia sedang mengalami tren baru: lima bulan berturut-turut mengalami deflasi. Deflasi terjadi ketika harga barang dan jasa secara keseluruhan turun selama periode tertentu.
Menurut data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia kembali mengalami deflasi pada September 2024. BPS mencatat deflasi sebesar 0,12% bulan tersebut, dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) turun dari 106,06 pada Agustus menjadi 105,93 di September.
Ini menandai bulan kelima terjadinya deflasi, dan level pada September lebih dalam dibandingkan Agustus. Tren ini dimulai pada Mei 2024 dengan deflasi kecil sebesar 0,03%, diikuti 0,08% pada Juni, 0,18% pada Juli, 0,03% pada Agustus, dan 0,12% pada September.
Deflasi tak berarti positif meski masyarakat terkesan bisa membeli barang dengan harga lebih murah. Sebab, faktor deflasi bisa bermacam-macam, termasuk tingginya pasokan dan menurunnya permintaan sehingga barang pun ‘diobral’. Bagaimana dengan situasi saat ini dan dampaknya bagi perekonomian Indonesia saat ini?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini bersama Teuku Riefky, peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia.
Riefky berpendapat situasi yang dihadapi Indonesia saat ini adalah akumulasi dari banyak kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu. Ini termasuk dampak pandemi COVID-19 yang menyebabkan melemahnya sektor formal, banyaknya pekerja sektor formal yang beralih ke sektor informal sehingga pendapatannya menjadi tidak stabil, hingga peraturan yang tidak memberikan kepastian hukum dalam melakukan investasi sehingga perekonomian sulit berkembang.
Meskipun tidak menampik adanya pengaruh suplai bahan baku yang berlebih karena Indonesia sedang memasuki musim panen, Riefky mengatakan faktor penurunan daya beli masyarakat yang menyebabkan permintaan di pasaran menjadi lebih rendah adalah sebab yang tidak bisa dilepaskan begitu saja.
Riefky menganggap deflasi adalah refleksi dari aktivitas ekonomi Indonesia yang dimulai dari penurunan permintaan akibat penurunan daya beli, yang pada akhirnya akan menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Dampak dari deflasi yang terjadi saat ini juga menjadi hal yang harus diantisipasi. Riefky berpendapat apabila pemerintah tidak segera bertindak, maka ini dapat mengakibatkan pengurangan investasi dan inovasi hingga semakin tingginya tingkat pemutusan hubungan kerja.
Karena itu, ia menyarankan pemerintah perlu memperbaiki iklim investasi dan lingkungan bisnis di Indonesia. Hal ini bisa dimulai dengan adanya perbaikan aturan yang mempermudah investor melakukan investasi di Indonesia yang diharapkan akan merangsang sektor publik kembali bergairah dan nantinya akan pelan pelan berdampak terhadap pendapatan masyarakat secara umum.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mencapai kesepakatan untuk memfinalisasi pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait perubahan atas Undang-Undang No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Revisi ini secara substansial menargetkan dua ketentuan utama, salah satunya adalah modifikasi Pasal 15 yang berimplikasi pada penghapusan ketentuan mengenai jumlah kementerian yang sebelumnya ditetapkan sebanyak 34, disesuaikan dengan kebutuhan aktual dalam penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden.
Selain itu, pemerintah juga melakukan penghapusan terhadap penjelasan Pasal 10 yang sebelumnya membatasi posisi wakil menteri hanya untuk pejabat karier dan tidak untuk anggota kabinet.
Perubahan ini juga memungkinkan presiden terpilih untuk menambah jumlah kementerian setelah dilantik jadi presiden pada Oktober mendatang. Menurut isu yang beredar, jumlah kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian era Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka akan bertambah menjadi 44, bertambah 10 dari era pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo–Ma'ruf Amin.
Bagaimana pendapat ahli mengenai berita yang beredar mengenai penambahan jumlah kabinet yang sedang ramai didiskusikan oleh publik?
Kami membahas masalah ini di episode SuarAkademia terbaru bersama Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, dosen dari departemen politik dan pemerintahan, Universitas Gadjah Mada.
Alfath mengatakan dugaan publik bahwa keputusan ini terkesan sebagai langkah untuk memuluskan pembagian jabatan kepada anggota koalisi adalah hal yang normal karena revisi UU kementerian ini terkesan terburu-buru. Asumsi masyarakat juga Alfath lihat semakin menguat ketika banyak partai yang tadinya dianggap oposisi, sekarang terlihat “merapat” ke koalisi pemerintahan yang akan dilantik tanggal 20 Oktober.
Alfath beranggapan bahwa penambahan jumlah kementerian dapat menyebabkan kekuasaan yang tidak terbatas. Ia mengkhawatirkan adanya potensi tumpang-tindih kebijakan, pembengkakan anggaran, dan terbukanya ruang-ruang baru bagi praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).
Alfath berpendapat situasi ini dapat menghambat cita-cita Indonesia untuk melakukan reformasi birokrasi. Dengan jumlah kementerian dan lembaga yang semakin banyak, ia mengkhawatirkan birokrasi yang berjalan akan semakin rumit dan pemerintahan hanya fokus kepada hal-hal yang sifatnya administratif dan tidak memberikan dampak positif kepada masyarakat secara langsung.
Ia menambahkan, pemerintah harusnya harus menempatkan fokus pada menempatkan orang-orang yang kompeten di posisi publik yang tepat daripada meningkatkan jumlah kementerian. Di tengah berbagai masalah yang sedang dihadapi Indonesia saat ini, Alfath mengatakan pemerintah seharusnya lebih mementingkan bagaimana mencari solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan ketimbang “bagi-bagi kue” kepada anggota koalisi.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Berita tentang bunuh diri semakin sering muncul belakangan ini, seolah-olah tindakan ini dianggap sebagai jalan keluar dari berbagai masalah hidup.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap tahun ada sekitar 800 ribu orang di seluruh dunia yang meninggal karena bunuh diri, dan mayoritasnya adalah anak muda.
Di Indonesia, data dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan bahwa terdapat 985 kasus bunuh diri pada remaja. Jumlah ini mencapai sekitar 46,63% dari total kasus bunuh diri antara tahun 2012 hingga 2023.
Beberapa orang menganggap bahwa tindakan bunuh diri umumnya didorong oleh keinginan untuk keluar dari kesulitan tertentu atau situasi krisis. Namun, bunuh diri sebenarnya adalah isu yang sangat kompleks, dengan penyebab utama yang belum bisa dipastikan.
Lantas, langkah apa yang perlu diambil masyarakat agar dapat mencegah agar kasus bunuh diri bisa berkurang?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini dengan Hetti Rahmawati, seorang akademisi dari Universitas Negeri Malang, Jawa Timur.
Hetti mengatakan kasus bunuh diri yang terjadi di kalangan anak muda disebabkan oleh beberapa faktor, seperti tekanan akademis, perubahan hormon, emosi, permasalahan keluarga, pengaruh media informasi, dan kurangnya akses sumber dukungan kepada para remaja.
Melihat semakin banyaknya kejadian bunuh diri, Hetti beranggapan ada kebutuhan mendesak untuk memperkuat sistem dukungan kesehatan mental dan mempromosikan interaksi sosial yang lebih sehat.
Namun langkah ini bukan tanpa hambatan. Hetti menyoroti tantangan dalam mempromosikan kesehatan mental, seperti adanya anggapan negatif dari lingkungan sekitar dan faktor budaya yang berkontribusi terhadap stigma seputar kesehatan mental dan bunuh diri.
Hetti juga membahas terbatasnya akses ke layanan kesehatan mental, terutama di daerah pedesaan, dan kebutuhan untuk meningkatkan kesadaran dan pendidikan tentang kesehatan mental. Ia menegaskan pentingnya memahami faktor risiko dan tanda-tanda masalah kesehatan mental, seperti trauma, isolasi sosial, dan masalah keluarga.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Universitas Islam Indonesia (UII) mendukung The Conversation Indonesia (TCID) dalam penerbitan siniar ini.
Persaingan antara kekuatan-kekuatan besar dunia, terutama antara Amerika Serikat (AS) dan Cina, telah menciptakan lanskap geopolitik yang tak hanya semakin dinamis, namun juga kompleks. Persaingan ini tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi dan militer, tetapi juga meluas ke berbagai bidang seperti teknologi, pengaruh ideologi, dan perebutan wilayah strategis.
Di tengah dinamika global yang semakin kompleks ini, negara-negara ASEAN terus berupaya memperkuat integrasi regional melalui pembentukan Komunitas ASEAN (ASEAN Community). Namun, upaya integrasi ini dihadapkan pada berbagai tantangan, termasuk perbedaan kepentingan nasional di antara negara-negara anggota, serta tekanan dari luar yang ingin memanfaatkan perbedaan tersebut untuk kepentingan masing-masing.
Lantas, peranan apa yang bisa diambil Indonesia dalam situasi politik regional dan global di tengah masa transisi pemerintahan saat ini?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berdiskusi dengan Gustri Eni Putri, dosen dari Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia.
Gustri mengatakan Indonesia dapat memainkan peran sebagai mediator dalam konflik antar negara yang sedang berlangsung. Meskipun masih masuk dalam kategori middle-power countries, khususnya di Asia, Ia beranggapan Indonesia memiliki reputasi yang bagus sebagai negara yang menjembatani penyelesaian konflik.
Ia menambahkan prinsip politik luar negeri “Bebas Aktif” yang dianut Indonesia dapat memberikan ruang dan fleksibilitas bagi Indonesia dalam mencapai tujuan negara di tengah dinamika politik yang sedang terjadi.
Namun, Gustri juga menyoroti situasi internal politik Indonesia yang sedang menjadi perhatian negara luar. Ia mengatakan “langkah” indonesia di kancah politik regional dan global tidak akan pernah terlepas dari situasi internal Indonesia saat ini.
Menurutnya, di tengah banyaknya kontroversi dalam dunia politik Indonesia yang terjadi selama beberapa waktu ke belakang dapat menurunkan reputasi Indonesia di mata internasional.
Gustri beranggapan pemerintah harus bisa menyelesaikan permasalahan domestik ini terlebih dahulu dan membuktikan kepada publik global bahwa Indonesia sudah menyelesaikan permasalahan domestiknya sendiri.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
The podcast currently has 184 episodes available.
7,839 Listeners
12 Listeners
46 Listeners
2 Listeners
8 Listeners
1 Listeners
0 Listeners
4 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
13 Listeners
53 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
4 Listeners
41 Listeners
3 Listeners